Selamat Jalan Kaisar dan Raja
--
Namun yang sangat ikonik dari Zagallo, bukan bagaimana ia punya keahlian mengetahui pasti posisi rekan di lapangan hanya dengan mendengar teriakannya, tapi karena ia selalu patuh pada pikiran dan perasaannya.
BACA JUGA:Minta Tambah Relawan PMI
Tahun 1998 di Paris, final piala dunia melawan Prancis dengan generasi emas Didier Deschamp dkk, Brazil pegang pasar taruhan voor seperempat gol. Dunia “meramal” Ronaldo bakal membuat Prancis tersedu dan terkulai.
Namun entah apa yang terjadi, starting eleven yang mencantumkan namanya di pagi hari, tiba-tiba siangnya harus dicoret tanpa ada yang tahu pasti kenapa. Rumor dan spekulasi berseliweran, dan benar saja, Brazil kalah di final itu 0-3, sama tragisnya dengan kekalahan di final 1950 dari Uruguay.
Sampai meninggalnya Zagallo sang pelatih, ia tetap dipercaya menyembunyikan “rahasia” itu. Boleh pecah di perut jangan terucap di mulut.
Sikap itu pula yang diyakini seluruh dunia telah mengantarkan dan menyelamatkan Ronaldo ke jembatan emas merengkuh Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang empat tahun kemudian. Rakyat Brazil juga sangat percaya, jika Zagallo mencemoohkan Ronaldo saat itu, maka tidak akan ada koleksi World Cup 2002 di lemari CBF hingga saat ini.
BACA JUGA:Jadi Akses ke Lokasi Wisata Bahari
Itulah cerita singkat dua lelaki yang sangat istimewa. Museum FIFA di Zurich sudah selayaknya mengabadikan mereka di sana. Selamat jalan Beckenbauer dan Zagallo. Salam untuk Maradona, Pele, Puskas, Levyashin, Cruyff, Moore, Rossi. Di sanalah kalian bermain bola dengan fair play sepenuh jiwa keagungan dan kemuliaan. (*)
Penulis adalah Pengamat Sepak Bola