Kata Psikolog Cirebon tentang Pelaku Judol: Mayoritas Laki-laki Usia Produktif, Bukan Pengangguran

Psikolog Unit PPT RSD Gunung Jati Cirebon Srini Piyanti SPsi berbincang dengan Radar Cirebon, Minggu (29/12/2024).-ade gustiana-radar cirebon

CIREBON- Judi online (judol) memicu adiksi yang sulit dikendalikan. Belakangan, populer dalam menaikkan angka perceraian, tindak kriminal, hingga bunuh diri. Salah satu ciri pecandu judol; janji bayar utang minggu depan, tapi banyak alasan.

“Biasanya, perilakunya berbohong. Awalnya pinjam (uang, red), janji dikembalikan minggu depan. Sudah seminggu, tapi zonk (tidak dibayar, red). Terus seperti itu," jelas Psikolog Unit Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) RSD Gunung Jati Cirebon Srini Piyanti SPsi kepada Radar Cirebon, Minggu (29/12/2024).

Psikolog yang biasa disapa Yanti itu mengatakan bahwa pelaku atau mereka yang terlibat judi online bukan saja dari kalangan masyarakat secara umum. Mereka yang berpendidikan atau berpenghasilan lebih dari cukup cenderung terlibat. 

Rata-rata pelaku, jelas Yanti, berkarakter impulsif atau tanpa pikir panjang dalam bertindak. “Artinya, alasan utama (judol) lebih ke arah sensasi dan kepuasan instan. Tidak mau berproses. Salah satu dorongannya impulsif," tuturnya.

BACA JUGA:Berantas Judi, Pemkab Cirebon Terbitkan Surat Edaran untuk ASN dan Pegawai BUMD

Ia menambahkan, dorongan perilaku impulsif dibentuk sejak kecil. Menjadi sulit dikendalikan ketika sudah dewasa. Pelaku judol yang nekat berbuat kriminal, disebabkan karena adiksi. Adiksi diartikan sebagai keadaan ketika seseorang tidak memiliki kendali untuk berhenti melakukan, mengambil, atau menggunakan sesuatu bahkan ketika hal itu sudah membahayakan diri sendiri. “Kalau orang sudah nagih, logika tidak jalan. Yang ada, bagaimana pemenuhan kepuasan dengan segera," ungkap Yanti.

Adiksi bukan hanya disebabkan zat psikotropika. Tapi juga non zat seperti judol, game atau video porno. Output yang dicari yaitu kepuasan instan. Kasus judol, kata Yanti, awalnya sekadar hasrat bermain. Lebih dari itu dijadikan sumber penghasilan. “Setelah mendapat keuntungan, merasa senang. Menjadi sebuah reward. Padahal seterusnya bisa jadi banyak ruginya dibandingkan untung," ucap Yanti.

Namun karena dorongan impulsif, kehilangan kontrol diri. Logika dikesampingkan. Lari ke hal negatif atau berbuat kriminal, bahkan mencoba memperoleh uang dengan cara lain misalnya pinjaman online. “Akhirnya semakin banyak lubang sampai terlilit hutang yang menyebabkan depresi," katanya.

Yanti mengatakan, peran keluarga dalam kasus ini sangat penting. Yaitu memberikan support sistem. Lingkungan sekitar juga memberikan kontribusi. “Yang utama adalah lingkungan keluarga. Maka keluarganya dilibatkan dalam family therapy untuk bisa memahami alur daripada ketagihan judi online itu," ucapnya.

BACA JUGA:Uang Judol Rp187,2 Triliun Dinikmati Lembaga Keuangan hingga Operator Seluler

Pengawasan ketat dari keluarga dilakukan. Pecandu judol, dalam terapinya, kata Yanti, tidak diizinkan menyimpan uang. Tidak boleh mengakses internet dalam durasi beberapa waktu. "Biasanya 6 bulan," tukas Yanti.

Yanti mengamati tren pelaku judi online beberapa waktu terakhir. Mayoritas dari mereka laki-laki usia produktif. “Mayoritas (korban judol, red) laki-laki, usia-usia produktif. Dan dia punya penghasilan, bukan penganggur. Ya walaupun ada juga yang pengangguran," jelasnya.

Awalnya, kata Yanti, pasiennya didiagnosa mengalami depresi. Tapi setelah didalami, pemicu utamanya adalah judi online. Pelaku judol punya kecenderungan berbohong. Misalnya soal sangkutan hutang. Berbohong pada keluarga. “Karena aslinya, orang seperti itu (pelaku judol, red) nggak mau terima kenyataan. Buat dia konflik itu menyakitkan," terang Yanti.

Selain usia produktif, kata Yanti, anak-anak sekolah juga perlu diwaspadai dalam penyebaran judol. Karena mereka sudah bisa mengakses internet. “Di pedesaan pun, saya coba menanyakan pada guru-guru yang memang mengajar di desa, ada juga yang sudah terpapar (judol). Karena sekarang internet kan tanpa batas," bebernya.

Tag
Share