Deflasi Pemerintahan Baru
Ilustrasi deflasi-istimewa-
Oleh: Mukhammad Alwani*
DI tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, pemerintahan baru dihadapkan pada krisis deflasi yang berlanjut selama lima bulan terakhir.
Menurut data BPS mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami deflasi dimulai di bulan mei dengan angka minus 0,03 persen, Juni 0,08 persen, Juli 0,28 persen, Agustus 0,03 persen dan September 0,12 persen.
Harga barang yang terus menurun ternyata tidak menandakan pemulihan, melainkan memperlihatkan lemahnya daya beli masyarakat.
BACA JUGA:Vitamin Rasa Syukur
Dengan inflasi rendah, konsumen cenderung menunda pengeluaran dengan harapan harga akan turun terus.
Dampaknya, aktivitas ekonomi akan melambat. Sektor ritel yang selama ini menjadi tumpuan konsumsi rumah tangga mulai merasakan penurunan pendapatan yang signifikan.
Menurut data Purchasing Managers Indeks (PMI) manufaktur terus mengalami penurunan di mulai maret 54,2 poin sampai September 49,2 poin, dapat diketahui bahwa sektor ritel merupakan salah satu pendongkrak barang industri manufaktur.
Data Bank Indonesia menunjukkan perkiraan penurunan indeks penjualan riil (IRP) secara nyata di beberapa kelompok seperti barang budaya dan rekreasi, sandang dan barang lain terutama kelompok makanan, minuman dan tembakau.
BACA JUGA:Pj Bupati Majalengka Usulkan Kenaikan Bantuan Keuangan Parpol
Belum lagi kondisi saat ini mengindikasikan bahwa kelas menengah mulai tergerus dan mengalami penurunan status ekonomi.
Apakah pemerintahan baru memiliki sense of Crisis yang cukup untuk mengatasi kondisi ini?
Sense of Crisis yaitu kesadaran bahwa kondisi genting sedang berlangsung dan memerlukan respons cepat serta tepat, sangat penting dalam situasi seperti ini.
Tanpa adanya sense of Crisis, pemerintah cenderung meremehkan sinyal sinyal ekonomi yang mengkhawatirkan, bergerak lambat dan mengeluarkan kebijakan yang tidak memadai.