Monster Plastik
Ilustrasi monster plastik.--radar cirebon
Oleh: Wariah*
ADA kebutuhan mendesak secara global untuk mengatasi ancaman polusi plastik, dan satu-satunya cara kita melakukannya adalah melalui kolaborasi dan tindakan ambisius.
Pemerintah dan bisnis Perusahaan. Keduanya harus bersatu padu untuk mengatasi dampak polusi plastik pada skala global, dengan berani menerapkan kebijakan dan terbuka untuk mencoba pendekatan baru dan inovatif untuk masalah yang kompleks.
Satu dekade terakhir, output produksi plastik menempati urutan kelima setelah logam dasar, motor, bahan kimia, dan makanan.
BACA JUGA:Kemendikbudristek Dapat Tambahan Anggaran Rp10,4 Triliun, Prioritas untuk Guru dan Dosen
Produksi plastik untuk kemasan di Indonesia terus meningkat setiap tahun dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 4,65 persen.
Produksi sedemikian besar ini perlu pengolahan yang benar agar dapat terurai di lingkungan. Jenis plastik berbahan polimer, membutuhkan waktu 100 tahun baru dapat terurai.
Plastik ramah lingkungan adalah plastik yang terbuat dari bahan dasar alam seperti tepung jagung, tepung terigu, dan bahan organik lainnya.
Plastik ramah lingkungan dapat terurai secara alami dan menjadi kompos ketika dibuang ke tanah. Plastik yang membutuhkan waktu lama untuk terurai, akan menjadi serpihan-serpihan kecil dan mengalir ke laut bersama dengan material lainnya.
BACA JUGA:THM Langgar Jam Operasional Wajib Ditindak, Satpol PP Harus Berani
Serpihan plastik kecil ini menjadi santapan ikan, pada gilirannya menjadi santapan di meja makan dan dikonsumsi manusia.
Proses ini adalah rantai makanan yang berlangsung secara alami di alam. Toh, kalau serpihan ini tidak terhanyut, maka serpihan ini akan tertimbun di tanah, tersedimentasi menjadi pengganggu bagi tersedianya hara bagi tumbuhan.
Bukan itu saja, serpihan ini akan mengganggu sifat fisik tanah, seperti porositas, permeabilitas dan permitivitas tanah yang pada gilirannya akan merusak ekosistem lingkungan.
Polusi plastik dapat menimbulkan konsekuensi yang parah dan sering disebut sebagai salah satu ancaman eksistensial terbesar setelah perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.