Banyak orang, dan tentu saja saya ada di dalamnya, selalu berharap Pemilu ataupun Pemilukada tidak selalu dimotori oleh praktik-praktik politik identitas yang selalu meruyak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Kita tentu saja tidak berharap bahwa pertikaian antarrekan, tetangga, bahkan keluarga terjadi hanya karena perbedaan pilihan politik berbasis identitas pribadi semata.
Artinya, saya tentu saja berharap bahwa calon kepala daerah harus hadir dan muncul dengan gagasan yang berarti tentang pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Namun, sebagai seorang awam, saya kok masih punya pesimisme lain. Kalaupun bukan soal politik identitas, praktik politik yang dilihat oleh kacamata awam ini sungguh tidak memiliki garis ideologi yang jelas.
BACA JUGA:Siapa yang Bakal Gantikan Fitria dan Dani di Griya Sawala? Ini Dia 2 Sosok PAW DPRD Kota Cirebon
Orang awam macam saya tentu saja bingung ketika melihat mudahnya pergantian pasangan dan inkonsistensi koalisi di pusat dan daerah.
Dan, terakhir, orang awam semacam saya bisa jadi menjatuhkan pilihan berdasarkan figur kandidat saja. Siapa yang membuat terpesona, dia menang; bukan rasionalitas program yang ditawarkan.
Sebagai seorang yang awam, tentu saja saya bersedih melihat realitas semacam itu. Ya, demokrasi kita rasanya memang baru sampai pada titik itu. Namun, apalah arti kesedihan seorang yang awam ini.
JADI KEPALA DAERAH ITU ENAK
BACA JUGA:Hanura dan PPP Ikut Gabung di Fraksi Sesuai Koalisi Pilkada
Karena saya orang awam, saya akan cepat menjawab bahwa jadi kepala daerah itu enak. Sebab, dalam kedudukannya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah, keduanya memiliki hak protokoler atau memiliki hak untuk dihargai sesuai dengan kedudukannya dan memiliki hak keuangan untuk menerima penghasilan dan atau tunjangan yang disesuaikan dengan tugas dan tanggungjawabnya.
Penghasilan dan atau tunjangan ini ditujukan untuk memberikan penghargaan atas pekerjaan yang telah dilakukan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Itu saja sudah sangat membuat enak.
Lagipula, cara berpikir awam dapat dengan mudah menggiring pada pertanyaan nakal; kalau tidak enak, tidak mungkin orang rela bersusah-susah dan berlelah-lelah untuk ikut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Bisa jadi, daya pikat berupa privilese dan kekuasaan yang akan dimiliki menjadi bagian dari tujuan utama kesediaan orang-orang untuk bertarung secara politik.
BACA JUGA:Smartfren Community Cirebon Gelar Pelatihan UMKM Naik Kelas
Meskipun, kontestasi politik selalu dibungkus oleh frasa-fara semisal “demi kepentingan rakyat”, orang awam seperti saya tentu saja tidak pernah dapat menjangkau maknanya; denotatif atau konotatif.