Psikolog PPT RSD Gunung Jati Cirebon Srini Priyanti mengamati tren pelaku judi online (judol) beberapa waktu terakhir. Mayoritas dari mereka laki-laki usia produktif.
“Mayoritas (korban judol, red) laki-laki, usia-usia produktif. Dan dia punya penghasilan, bukan pengangguran. Ya walaupun ada juga yang pengangguran,” jelasnya kepada Radar Cirebon di ruang kerjanya, belum lama ini.
Awalnya, kata Yanti, pasiennya didiagnosa mengalami depresi. Tapi setelah didalami, pemicu utamanya adalah judi online. Pelaku judol ini punya kecenderungan berbohong. Misalnya, soal sangkutan utang. Berbohong pada keluarga.
“Karena aslinya, orang seperti itu (pelaku judol, red) nggak mau terima kenyataan. Buat dia konflik itu menyakitkan,” tukasnya.
Selain usia produktif, kata Yanti, anak-anak sekolah juga perlu diwaspadai dalam penyebaran judol. Karena mereka sudah bisa mengakses internet.
“Di pedesaan pun, saya coba menanyakan pada guru-guru yang memang mengajar di desa. Ada juga yang sudah terpapar (judol). Karena sekarang internet kan tanpa batas,” terang Yanti.
Pelaku judol juga punya kecenderungan tidak mau berterusterang terlibat judol. Terusterang kepada pergaulan atau lingkungan secara umum.
“Artinya, di situlah konfliknya. Satu sisi dia tahu bahwa lingkungan itu tidak menyukai perilaku itu. Sisi yang lain, buat dia penasaran (bermain judol) tidak hilang. Jadi, adiksi judol seperti ada yang hilang kalau tidak pegang HP dan bermain judol,” pungkasnya. (ade)