Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB), yang merupakan gabungan sejumlah serikat buruh, telah menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan unjuk rasa secara nasional sebagai bentuk penolakan terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Aksi nasional tersebut dijadwalkan akan dilaksanakan pada Kamis, 27 Juni 2024 mendatang.
Dalam pernyataannya di konferensi pers yang diselenggarakan belum lama ini di Kantor DPP Apindo DKI Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Perwakilan Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI), Endang Hidayat, menegaskan bahwa pada tanggal 27 Juni 2024, mereka akan melakukan aksi unjuk rasa di seluruh Indonesia untuk menolak Tapera serta menuntut pencabutan program tersebut secara permanen. Diharapkan partisipasi massa dalam aksi tersebut diperkirakan akan mencapai 10 ribu hingga 20 ribu orang.
Khusus untuk Jakarta, diperkirakan sekitar empat ribu orang akan turut serta dalam aksi unjuk rasa di depan Istana Negara. Salah satu tuntutan utama aksi ini adalah pencabutan peraturan Tapera secara keseluruhan.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, juga menegaskan bahwa penolakan terhadap Tapera akan semakin meluas apabila pemerintah tidak mencabut program tersebut. Ia mengungkapkan bahwa jika Tapera tidak dicabut, aksi protes akan merambah ke seluruh Indonesia dan melibatkan lapisan masyarakat yang lebih luas.
BACA JUGA:Ajak ASN untuk Tertib Pajak
"Bila ini (Tapera) tidak dicabut, maka akan dilakukan aksi yang lebih meluas di seluruh Indonesia dan melibatkan komponen masyarakat yang lebih luas," kata Said Iqbal.
Sementara itu, para honorer dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) juga menunjukkan ketidaksetujuan terhadap program tapera. Menurut Ketua Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Kabupaten Bondowoso Jufri, tapera dianggap sebagai kebijakan yang mengakibatkan kesulitan bagi seluruh honorer dan PPPK.
"Kami menolak tapera. Itu kebijakan yang bikin semua honorer dan PPPK susah," ungkap Jufri kepada jpnn.com, Sabtu (22/6).
Ketua Ikatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (IP3K) ini menegaskan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi tuntutan utama dari honorer dan PPPK kepada pemerintah. Pertama, mereka meminta agar hak-hak PPPK disamakan dengan PNS, termasuk di antaranya mendapatkan fasilitas pensiun. Kedua, PPPK juga meminta kenaikan gaji berkala (KGB) dan tambahan penghasilan (tamsil) yang belum sepenuhnya direalisasikan. Ketiga, honorer K2, guru tidak tetap (GTT), pegawai tidak tetap (PTT) seperti penjaga sekolah dan tata usaha (TU) mengusulkan prioritas dalam pengangkatan menjadi ASN PPPK sesuai dengan masa kerja dan usia.
BACA JUGA:Bantu Operasional Masjid dan Santuni Anak Yatim
Jufri menyoroti kebijakan pemerintah yang terus mengeluarkan aturan baru namun tidak mengatasi permasalahan yang ada, bahkan cenderung menambah masalah baru. Dia mempertanyakan alasan pemerintah yang tidak mengakomodasi langkah untuk mengangkat honorer menjadi ASN tetapi justru menambah beban dengan tapera.
Selain itu, Jufri meragukan apakah pemerintah benar-benar memahami masalah gaji yang diterima oleh honorer selama ini. Banyak honorer yang masih menerima bayaran antara Rp 00 ribu hingga Rp250 ribu per bulan. Hal ini merupakan sebuah beban yang besar bagi para honorer. Menurutnya, pemerintah seharusnya berupaya memberikan kesejahteraan, bukan menambah beban yang secara perlahan akan menggerus kehidupan mereka.
Jufri juga menekankan bahwa pemerintah harus melihat kondisi honorer di wilayah-wilayah pedesaan, di mana gaji yang diterima cenderung lebih kecil daripada honorer di perkotaan. Dia menyarankan agar pemerintah memberikan upah yang lebih layak kepada para guru dan honorer yang dengan tulus membaktikan diri dalam mengajar meskipun dengan imbalan yang minim.
Menurut Jufri, kemajuan suatu negara terletak pada dunia pendidikan sehingga perhatian terhadap kesejahteraan para tenaga pendidik sangatlah penting. (jpnn)