Kalau kita berkenan mengingat momen Sidang Umum MPR pada 1 Maret 1993, Presiden Suharto pernah begitu optimis menyampaikan bahwa Indonesia telah siap dan mampu tinggal landas menjadi negara yang sejajar dengan negara lain yang sudah lebih dulu maju.
BACA JUGA:Lapas Sukamiskin Buka Rekrutmen Program Kemandirian Konveksi Bagi WBP
Konon, era tinggal landas adalah masa setelah Indonesia menyelesaikan program Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun (PJP) tahap I yang berlangsung sejak 1968 hingga 1993. PJP Tahap II direncanakan sejak 1993-2018.
Optimisme itu terucap bukan tanpa dasar. Peningkatan kemampuan dan penguasaan teknologi, rancang bangun, dan rekayasa nasional industri telah menghasilkan produk-produk dengan teknologi canggih.
Hal tersebut dirasa cukup menjadi dasar kesiapan Indonesia untuk melangkah maju ke tahap-tahap industrialisasi selanjutnya.
Faktanya, sektor Industri Indonesia justru terpuruk dan lumpuh di 1998. Tentu saja, ada banyak analisis atas sebab keterpurukan tersebut.
BACA JUGA:Personel Polairud Jabar Ditingkatkan Kemampuan Komunikasinya
Grand design yang begitu kuat dan teknokratik tersebut faktanya berangsur-angsur hancur seiring dengan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Robert B. Reich melalui bukunya yang berjudul The Work of Nations (1991) menyatakan “Regardless of how your job is officially classified (manufacturing, service, managerial, technical, secretarial, and so on), or the industry in which you work (automotive, steel, computer, advertising, finance, food processing), your real competitive position in the world economy is coming to depend on the function you perform it.”
Pernyataan tersebut sungguh menarik dan patut untuk dicermati dalam rangka memahami posisi moral manusia dalam memperlakukan sebuah konsep atau desain pembangunan.
Klasifikasi pekerjaan tertentu pada jenis industri tertentu sejatinya tidak menjadi faktor penentu, sebab posisi kompetitif setiap manusia dalam perekonomian dunia justru lebih bergantung pada fungsi yang dijalankan.
BACA JUGA:Hutan Kota di Bekas TPA Grenjeng
Ragam jenis jabatan pekerjaan yang dibarengi dengan variasi deskripsi kerja tidak akan berdampak apa-apa tanpa dayda dukung moral untuk menjalankan fungsi dari jabatan dan deskripsi kerja yang diberikan.
Bukankah ini dimensi moral yang perlu terjaga? Setiap elemen yang menjadi bagian dari desain besar pembangunan harus memaksimalkan fungsinya; bukan mereduksi apalagi melakukan korupsi/kolusi/nepotisme.
Sebab, perlu diyakini bahwa sekali saja sebuah fungsi tidak dijalankan sebagaimana harusnya, sejak saat itu sebuah desain besar sedang direncanakan untuk runtuh.
Grand design pembangunan, dalam sudut pemerintah, seharusnya tidak hanya bicara tentang proyeksi manfaat dari pembangunan di masa depan tetapi juga harus secara detail mengurusi kualitas moral dari pelaksananya.