Wakil Ketua Umum MUI KH Anwar Abbas mengatakan untuk keselamatan jamaah haji lansia (lanjut usia) dan risti (berisiko tinggi) maka perjalanan hajinya lebih baik dari Arafah langsung ke Mina dan mabit di Muzdalifah mengikuti skema murur.
Hal ini disampaikan KH Anwar Abbas usai meninjau kesiapan sarana pra sarana di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan para Amirul Hajj. Buya Anwar Abbas yang juga Naib Amirul Hajj 1445 H/2024 M ini menilai pilihan tersebut amat tepat untuk diambil demi memberikan keselamatan bagi jamaah.
“Saya tahun 2008 haji, tahun 2019 haji, tempat di sini (Muzdalifah, red) masih luas, sehingga kalau mobil (bus) parkir di sini meskipun sempit-sempit tapi mampulah menampung. Tapi sekarang banyak bangunan, di sini ada dibangun toilet,” ungkap Anwar Abbas.
“Kesimpulan saya, impossible mobil yang datang dari Arafah berhenti di sini semua, tidak akan tertampung. Sehingga diperlukan ijtihad ulama. Dan MUI sudah membuat fatwa. Artinya, jamaah tertentu yang sakit dan berisiko tinggi, untuk keselamatan mereka, lebih baik lanjut ke Mina, dan berangkat jam 19.00 malam,” sambung pria yang juga akrab dipanggil Buya Anwar ini.
BACA JUGA:Jelang Puncak Haji 2024, Jamaah Bersiap Menuju Arafah
Menurutnya, pilihan mabit di Muzdalifah dengan skema murur patut menjadi pilihan karena bertujuan menjaga keselamatan. “Itu ada alasannya, masyaqqah, kesulitan. Dalam maqashid syariah ada hifdzunnafs ya, ada pertimbangan keselamatan jamaah,” tutur Buya Anwar yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Ia juga sepakat dengan program murur yang disiapkan pemerintah, di mana jamaah lansia, jamaah dengan risti serta pendampingnya akan mulai diberangkatkan dari Arafah langsung menuju Mina dimulai sejak pukul 19.00 malam.
“Itu kan artinya sudah melewati malam, ya. Saya kira sah. Malam kan dimulai dari terbenamnya matahari. Memang ada ulama menyatakan lewat jam 12 malam, tapi situasi dan kondisinya tidak memungkinkan. Melihat space (luasan) sekarang ini, saya punya kesimpulan memang tidak mungkin,” ungkap Buya Anwar, dikutip dari laman resmi Kemenag pada Kamis, 13 Juni 2024.
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) telah menggulirkan rencana pola mabit di Muzdalifah dengan skema murur. Hal ini menjadi bagian dari mitigasi makin sempitnya kawasan Muzdalifah, khususnya setelah terbangunnya toilet yang memakan lahan seluas dua hektar.
BACA JUGA:Proyek Pataraksa Dikorupsi, Pj Bupati Cirebon: Jangan Terulang!
Berdasarkan catatan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), area Muzdalifah yang diperuntukkan bagi jamaah haji Indonesia seluas 82.350m2. Pada 2023, area ini ditempati sekitar 183.000 jamaah Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab. Sementara ada sekitar 27.000 jamaah Indonesia (9 maktab) yang menempati area Mina Jadid. Sehingga, setiap jamaah saat itu hanya mendapatkan ruang atau tempat sekitar 0,45m2 di Muzdalifah.
Tahun 2024, Mina Jadid tidak lagi ditempati jamaah haji Indonesia. Sehingga, 213.320 jamaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah. Padahal, tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat (space) di Muzdalifah seluas 20.000 m2. Sehingga, ruang yang tersedia untuk setiap jamaah jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah, 82.350 m2 - 20.000 m2 = 62.350 m2/213.320 = 0,29m2.
Karenanya, mabit Muzdalifah dengan skema murur menjadi ikhtiar pemerintah untuk dapat mengurangi kepadatan di Muzdalifah. Pemerintah menargetkan 55 ribu jamaah haji Indonesia akan melakukan skema murur.
Mabit di Muzdalifah dengan cara murur adalah mabit (bermalam) yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah. Jamaah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di bus (tidak turun), lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina. (rc)