Nasib Politik Bahasa yang “Dipaksa” Tertidur

Selasa 26 Mar 2024 - 15:40 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Bambang

Imbasnya, bahasa Inggris peserta didik kita menjadi amat lemah, pasif dan tidak konstruktif bagi perkembangan dan penguasaan bahasa asing mereka. 

Belum lagi, Kemendikbudristek mestinya malu,  serangan-serangan sekolah yang dahulu berani membangun dengan menyematkan ‘international school’.

Sekarang agak lebih halus dengan mengikuti aturan untuk diganti menjadi Satuan Pendidikan Kerja sama (SPK), dengan cerdiknya sekolah-sekolah ini menerapkan diksi ‘nasional plus’, yang dijual tentu ditambah yakni ‘Cambridge Curriculum’ yang terintegrasi Kurikulum Nasional. 

BACA JUGA:Berada di Pusat Kota Jatibarang dan Depan Stasiun, RTH Jatibarang Enak Buat Ngabuburit

Bukan jadi soal apapun yang mereka jual, hanya saja, langkah berani yang diambil adalah mereka mampu menerapkan ‘English as Medium of Instruction’ (EMI).

Pembiasaan yang dibangun dan bahasa Inggris sebagai tumpuan berbahasa di sekolah, merupakan langkah maju untuk mengubah cara pandang dalam berbahasa.

Penerapan semacam EMI ini, bukan hanya berpengaruh signifikan kepada siswa dalam berbahasa, tetapi juga dalam satu ekosistem utuh di sekolah sebagai tempat belajar dan berkembang.

Tanpa kehilangan identitas sebagai warga NKRI yang berbahasa satu bahasa Indonesia, yang sudah dicetuskan sejak 1928 lalu oleh para pemuda. 

BACA JUGA:Gawat DBD Sudah Makan Korban, Siswa SD Meninggal Dunia di Majalengka

Implikasi yang terjadi jika adanya harmonisasi bahasa daerah, bahasa nasional dengan bahasa asing yakni bahasa Inggris, kemampuan literasi bangsa pun akan meningkat.

Ditambah ketimpangan yang terjadi saat ini bisa saja mereda seiring perbaikan regulasi bahasa yang seharusnya bisa dilihat secara gamblang oleh Kemendikbudristek. 

Sebab, menguasai bahasa asing agaknya naif juga jika hanya diajarkan 2 jam per pekan. Sebagai bahasa asing, setidaknya bahasa Inggris seyogianya digunakan dalam lingkup pendidikan.

Ditambah, sekolah yang menerapkan nasional plus, sejak PAUD dan TK, anak-anak didik sudah terbiasa mendengar multi bahasa dari gurunya. 

BACA JUGA:Pasar Murah Bakal Digelar 4 Kali, Catat Lokasi dan Tanggalnya

Jika kemudian Kemendikbudristek masih seperti sekarang, tidak memikirkan bagaimana politik bahasa harus diregulasikan sesuai penempatannya, maka tidak heran jika penulis berasumsi bahwa Kemendikbudristek sengaja membuat literasi anak-anak kita lemah.

Ironisnya memang, sekolah yang sudah menerapkan EMI ini lebih elite dan mahal ketimbang sekolah negeri yang diromantisasikan sebagai konotasi pas-pasan dan tidak mempunyai langkah maju ke depan untuk sekadar regulasi berbahasa. 

Tags :
Kategori :

Terkait