Nasib Politik Bahasa yang “Dipaksa” Tertidur

Selasa 26 Mar 2024 - 15:40 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Bambang

Oleh: Muhammad Guruh Nuary*

JIKA ditanya menggunakan Artificial Intelligence (AI), apa pentingnya bahasa? Mayoritas AI akan memaparkan jika bahasa merupakan alat komunikasi yang mempunyai posisi penting sama halnya seperti bernapas. 

Lantas kemudian, dari jawaban kecerdasan buatan itu saya kemudian berpikir, meski napas dengan berbahasa adalah dua keluaran yang berbeda, namun keduanya memang melewati proses biologis dari tubuh kita.

Bukan bermaksud menyandarkan sepenuhnya pada AI, akan tetapi jika berbahasa dirasa penting, maka seharusnya dan semestinya Indonesia punya peraturan yang bisa mengintegrasikan setidaknya tiga bahasa yakni bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris. 

BACA JUGA:Warga Binaan Lapas Kelas 1 Cirebon Semangat Belajar Ilmu Agama Islam

Namun, semua itu hanya keniscayaan yang mungkin tidak pernah akan terwujud. Sebab bahasa, bisa jadi dianggap hanya unit terkecil dari sebuah peristiwa sehari-hari.

Padahal disadari atau tidak, banyak persoalan yang timbul ketika pemerintah tidak serius menganggap bahasa hanya sebagai objek yang remeh-temeh. 

Adanya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara dan diperkuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa, tidak membuat masyarakat secara otomatis bisa memisahkan antara ketiga bahasa yang sudah penulis jelaskan di atas. 

Di sisi lain, regulasi ini terbilang lemah dari segi implementasinya, meskipun diatur dalam Perpres itu pada pasal 23 ayat 4 yang membolehkan penggunaan bahasa asing agar dapat mendukung kemampuan peserta didik, sayangnya dari Undang-Undang yang diperkuat Perpres itu, tidak kemudian turun dan diejawantahkan kepada peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud). 

BACA JUGA:Polres Indramayu Gelar Program Mudik Gratis

Maka, harus diakui jika regulasi yang tercetus, hanya sebatas demi embel-embel rasa “nasionalisme”. Bahkan secara ekstrem bisa penulis sampaikan jika pemerintah dalam hal ini tidak menginginkan masyarakatnya yang heterogen untuk bisa menguasai berbagai bahasa, yang secara global, paling penting tentu bahasa Inggris. 

Padahal, pemerintah mestinya melek tentang bagaimana posisi Indonesia dari aspek bahasa. Menurut lingkar model Kachru yang tenar pada era 1990, Indonesia berada di lingkaran paling luar, yakni di bagian ‘expanding circle’, karena memiliki kebijakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, bukan sebagai bahasa kedua. 

Oleh sebab itu, segala bentuk pendidikan, landasan kita tetap mengacu pada Undang-Undang yakni bahasa Indonesia.

Di sisi lain, sayangnya, Indonesia sebagai negara yang besar tidak mampu memberikan aturan standar yang memadai agar secara implementasinya, masyarakat mampu mempunyai keterbacaan teks dan kemampuan berbahasa asing dengan baik. 

BACA JUGA:Kemenag Isi Ramadan dengan Berbagi Kegiatan

Tags :
Kategori :

Terkait