Belum lagi, dunia saat ini juga memiliki konsep borderless alias tanpa batas. Yang mana, media sosial adalah pengantar terseksi saat ini bagi Indonesia bisa menjadi salah satu warga dunia yang berpengaruh.
Sungguh sayang, problematikanya adalah tidak semua masyarakat Indonesia yang mempunyai media sosial mampu berbahasa Inggris.
Hal ini terpampang dalam data yang dikeluarkan oleh EF English Proficiency Index (EF EPI) pada tahun 2022 lalu.
EF EPI mengukur kemampuan berbahasa Inggris bagi warga negara yang berada pada non-bahasa Inggris di seluruh dunia dengan lima kategori kecakapan yaitu Very High Proficiency, High Proficiency, Moderate Proficiency, Low Proficiency, dan Very Low Proficiency.
BACA JUGA:DPRD Kabupaten Indramayu Terima LKPJ Tahun 2023
Ironinya, kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia berada di urutan ke-81 dari 111 negara yang disurvei.
Jika dikerucutkan, pada tingkat Asia Tenggara, Indonesia jauh dari Singapura yang bercokol di peringkat 1, disusul dengan Filipina, kemudian Malaysia, lalu Vietnam dan Indonesia hanya di peringkat kelima. Mungkin bisa sedikit berbangga karena Indonesia lebih unggul ketimbang Myanmar (6), Thailand (7), Kambodia (8), dan Laos (9).
Kendati demikian, memang faktor historis juga tak bisa dilepas dari pengaruh Inggris dan sekutunya Amerika Serikat yang mengiringi kemampuan berbahasa negara-negara yang berada di atas Indonesia.
Meski begitu, penulis tak ingin terus meromantisasi “penyesalan historis” seolah-olah kemudian kita berandai-andai ‘coba dulu kita dijajah Inggris, pasti lancar bahasa Inggris’, tentu itu bukan juga pilihan yang bijak.
BACA JUGA:Capaian Program Unggulan Dekat, 3.247 PJU Terpasang di Wilayah Indramayu
Terlepas dari regulasi dan data yang penulis coba hamparkan, sekarang kita jamah juga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam peranannya sudah sejauh mana untuk perkembangan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris.
Sempat gemuruh kritik berdatangan saat bahasa Inggris di tingkat SD (saat itu masih Kemendikbud), ketika Kurikulum 2013, hanya dijadikan ekstrakurikuler dan mata pelajaran pilihan artinya diterapkan atau tidak itu tergantung pihak sekolah.
Kemudian Merdeka Belajar pun mengadopsi hal yang serupa sebelum akhirnya direvisi dan kini bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib untuk tingkat SD yang dimulai dari kelas 3.
Alasan Kemendikbudristek karena memikirkan mereka yang sekolah di pelosok. Meski benar, namun terdengar naif.
BACA JUGA:Sangat Minim, Anggaran Pemeliharaan Jalan dari Sebelumnya Rp5 Miliar Dipangkas Menjadi Rp3 Miliar
Bahkan di tingkat SMP dan SMA yang tadinya 4 jam dalam sepekan, hanya menjadi 2 jam saja. Kurikulum Merdeka Belajar masih tetap mengadopsi hal yang sama, hanya 2 jam per pekan.