Menurut Sen, ada lima jenis kebebasan instrumental kebebasan politik, fasilitas ekonomi, peluang sosial, jaminan transparansi, dan keamanan protektif. Kebebasan memiliki elemen fundamental, yakni kapabilitas. Semakin besar kapabilitas seseorang, makin besar pula kebebasan atau meraih kondisi yang bernilai.
Dalam perspektif development as freedom, peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen mengemukakan perspektif pembangunan sebagai proses perluasan kebebasan masyarakat. Menurut Sen, ada lima jenis kebebasan instrumental. kebebasan politik, fasilitas ekonomi, peluang sosial, jaminan trans- paransi, dan keamanan protektif. Kebe- basan memiliki elemen fundamental, yakni kapabilitas.
Semakin besar kabilitas seseorang, makin besar pula kebebasan yang dimiliki untuk merespons peluang yang ada. Begitu pula sebaliknya.
Konsep kapabilitas disandingkan dengan konsep keberfungsian (functionings). Keberfungsian menunjuk aneka bentuk pencapaian aktual di hidup seseorang. Kapabilitas adalah kebebasan substantif seseorang guna mencapa aneka kombinasi keberfungsian yang dipilihnya karena dipandang berharga bagi hidupnya.
BACA JUGA:PKT Kelurahan Munjul Bangun Drainase
Gagasan Sen bisa menjelaskan bagaimana dunia pendidikan meningkatkan kapabilitas dan kebebasan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Pendidikan yang berorientasi meningkatkan kapabilitas memiliki posisi amat strategis bagi masa depan bangsa.
AKAR PERSOALAN DAN SOLUSI
Pasal 82 UUGD mengamanatkan bahwa pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik bagi para guru, harus sudah diselesaikan paling lama 10 tahun sejak berlakunya UUGD.
Akan tetapi pemerintah sendiri telah melenceng jauh dari itu, sampai saat ini pun masih terdapat guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik D-IV atau S-1 dan belum memiliki sertifikat akademik sebagai bukti keprofesionalannya.
BACA JUGA:Pulang Kampung, Iwan Bule Kangen Makan Sorabi dan Gemet
Persoalan kepastian dan kejelasan status, jenjang karier, kesejahteraan, dan perlindungan guru pun menjadi benang kusut tata kelola guru di Indonesia. Sebagai contoh terkait problematika jenjang karier, kini berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak bahwa syarat untuk menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, ataupun penugasan lain di bidang pendidikan, harus memiliki sertifikat guru penggerak. Di tengah pelaksanaan program guru penggerak yang belum optimal dan belum seluruh guru mengikuti program guru penggerak, persyaratan ini tentu berpotensi diskriminatif dan melangggar HAM.
Belum lagi dalam Pasal 6 huruf d Permendikbud-Ristek No 26 Tahun 2022 menyebutkan bahwa calon peserta pendidikan guru penggerak harus memenuhi persyaratan salah satunya ialah memiliki masa sisa mengajar tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun. Ketentuan ini tentu dapat mematikan proses pemelajaran, pengembangan keprofesionalan, dan jenjang karir guru.
Padahal berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) huruf g UUGD menyebutkan bahwa salah satu prinsip profesionalitas guru ialah memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
Oleh karena itu, adanya batasan untuk mengikuti program guru penggerak sangat diskriminatif dan melanggar ketentuan UUGD. Aspek kesejahteraan dan kejelasan status guru honorer melalui pengangkatan sebagai ASN pun masih menyisakan persoalan.
BACA JUGA:Paman Gibran Tak Tinggal Diam
Wacana Kemendikbud-Ristek untuk mengangkat satu juta guru sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pun masih belum mencapai target secara optimal.