Saya Tidak Mendukung “Pengentasan Kemiskinan”

Senin 28 Oct 2024 - 18:22 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Bambang

Oleh: Syarifuddin*

SEBETULNYA, agak takut-takut saya menuliskan esai ini. Alasannya tentu saja soal ketakutan bahwa argumen saya akan dianggap bernuansa politis.

Di saat yang bersamaan, saya meyakini bahwa argumentasi yang tersusun sedapat mungkin berpedoman pada hasil analisis dan objektivitas ilmu pengetahuan.

Pertimbangan panjang itu pada akhirnya membuat saya merasa bahwa esai ini murni bertujuan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan dalam rangka mendudukkan bahasa (beserta seperangkat satuan analisisnya) sebagai sebuah sistem logika dan konvensi yang perlu dijaga objektivitasnya.

BACA JUGA:Seni Lukis Wahana Edukasi Budaya

FRASA YANG ANEH

Sedari dulu, saya sering merasa bahwa “pengentasan kemiskinan” adalah frasa yang aneh. Frasa tersebut sering terucap dan tertulis dalam berbagai narasi publik pemerintah. Lama kelamaan, saya juga cenderung tidak peduli pada ‘rasa aneh’ dari frasa tersebut dan menganggapnya sebagai kelaziman. 

Rasa aneh itu muncul kembali ketika menyaksikan serangkaian proses pengumuman dan pelantikan Kabinet Merah Putih; kabinet pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Pada Selasa (22/10/2024), Presiden Prabowo Subianto melantik Budiman Sudjatmiko menjadi Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Ketika mendengar nama Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, ingatan saya seolah kembali ke masav ketika saya menjadi seorang pengajar.

BACA JUGA:Disdukcapil Optimalisasi Perekaman KTP-el

Ya, di masa itu, saya gemar mengkaji berbagai kesalahan logika bahasa yang beredar di ruang publik. Salah satu yang sering saya jadikan contoh adalah frasa “pengentasan kemiskinan”.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, frasa “pengentasan kemiskinan” seperti telah nempel pada beragam narasi publik pemerintah.

Padahal, kalau diamati secara lebih dalam, frasa “pengentasan kemiskinan” menyimpan ketidaksesuaian antara kata dan maknanya. 

Bisa jadi, ada semacam skeptisisme ketika masalah keteraturan berbahasa dianggap terlalu dibesar-besarkan. Saya tentu ada pada posisi yang memandang bahasa adalah fenomena sosial yang memiliki fleksibilitas praktis dan pragmatis.

BACA JUGA:Persiapan Timnas U-20 Indonesia di Piala Asia U-20 2025: Naturalisasi Dua Pemain dan Pemusatan Latihan di Jepa

Tags :
Kategori :

Terkait