Menjaga Ruang Cyber

Menjaga ruang cyber.-istimewa-

Oleh: Ami Supriyanti*

UNDANG-UNDANG Informatika Transaksi Elektronik (ITE) belum lama ini disahkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2024.

Perubahan kedua pada UU ITE Nomor 11 tahun 2008 setelah UU ITE nomor 19 tahun 2019 telah mengalami transformasi atau perubahan pada sisi delik umum menjadi delik aduan, dan ancama hukuman dari lima tahun menjadi dua tahun.

Meski UU ITE ini telah berubah dan sudah lumayan “ringan” dibanding sebelumnya, namun masyarakat yang menjelma menjadi netizen sebaiknya tetap waspada atas jerat UU ITE ini. 

BACA JUGA:Pemerintah Kini Soroti Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Serentak 2024

Kebebasan berpendapat memang penting dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara demokrasi. Namun, etika dan sopan santun yang diatur dalam UU ITE ini jauh lebih penting untuk diterapkan. 

Ini bukan soal ancaman hukuman, tapi ini soal etika moral dan perilaku yang menyertainya. Tentu tidak membahas banyak teknis yang terkandung dalam UU ITE, maklum, penulis bukan ahli hukum.

Paling tidak, penulis tahu secara garis besar keberadaan UU yang ditakuti para natizen kritis di Indonesia.

Sejatinya, UU ITE tidak perlu ada, andai semua netizen Indonesia berada pada kelas Log10.000. Maksudnya? Jadi begini, penulis mengklasifikasikan kelas atau level netizen dalam bersosial media.

BACA JUGA:Belum Genap Sebulan, Ribuan Miras Kembali Dimusnahkan Jelang Pilkada

Kelas 2 + 2 adalah kelas di mana netizen yang sopan dalam bersosial media karena takut dengan UU ITE.

Jadi kelas ini, jika tidak ada UU ITE mama mereka akan “barbar” dalam bersosial media.

Level berikutnya, adalah Kelas Akar 16, kelas ini adalah, netizen yang dalam proses bersosial media tetap sopan karena takut mempermalukan dirinya sendiri jika terjerat UU ITE. 

Memikirkan anak isteri, memikirkan orangtua. Betapa malunya dirinya dan orangtuanya jika mereka terjerat dan disel oleh penegak hukum karena pelanggatn UU ITE. 

Tag
Share