Karena Ulah Elite, Bukan Rakyat

Proses distribusi logistik Pilkada 2024 oleh KPU Kabupaten Cirebon, belum lama ini. Jika wacana pilkada dikembalikan ke DPRD terwujud, maka tak ada lagi kesibukan distribusi logistik pilkada.-samsul huda-radar cirebon

JAKARTA- Wacana mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari pemilihan langsung menjadi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memicu polemik di masyarakat. 

Wacana ini mencuat dan jadi bahasan publik setelah Presiden Prabowo Subianto mengatakan pilkada terlalu mahal. Pernyataan Prabowo disampaikan di acara HUT ke-60 Partai Golkar di SICC, Bogor, Jawa Barat, Kamis malam, 12 Desember 2024.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India. Sekali milih anggota DPR ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, bupati. Efisien, nggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita kaya bener nggak?" kata Prabowo.

Menurutnya, uang negara yang habis puluhan triliun untuk pilkada bisa dialokasikan untuk program yang bermanfaat bagi rakyat kecil. “Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah uang yang bisa perbaiki irigasi,” ujarnya.

BACA JUGA:AKMI Suaka Bahari Lantik Ratusan Taruna Baru Angkatan XXXVIII

Ya, argumen efisiensi anggaran sering menjadi alasan pendukung usulan ini. Namun banyak pihak menilai gagasan ini berpotensi menggerus hak fundamental rakyat.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno mempertanyakan sikap publik terkait wacana pilkada dikembalikan ke DPRD. “Jamaah X, apakah dirimu setuju atau tidak setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD?” tanya Adi Prayitno seperti dikutip pada Minggu 15 Desember 2024.

Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD sering kali dikaitkan dengan alasan efisiensi anggaran. Pilkada langsung memang membutuhkan biaya besar, mulai dari logistik hingga pengamanan. “Mungkin di kemudian hari muncul wacana presiden dipilih MPR, karena Pilpres mahal dan lain-lain," tegas analis politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Namun Adi Prayitno berpandangan, biaya tinggi ini justru mencerminkan praktik politik transaksional di tingkat elite, bukan kebutuhan riil masyarakat. “Padahal politik kita mahal karena elite, bukan karena rakyat," tandas Adi Prayitno.

BACA JUGA:Menteri PANRB: Inklusivitas Jadi Keharusan di Tiap Layanan

Senada disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Yevri Sitorus. Ia mengatakan rakyat tidak bisa dijadikan kambing hitam ketika kontestasi politik berbiaya mahal. 

Menurut Deddy, biaya pemilu menjadi mahal karena kandidat yang melangkahi moral, etika, dan undang-undang serta mengedepankan keserakahan dalam kontestasi. 

“Jadi, jangan hanya menyalahkan rakyat biaya mahal, karena yang menaburkan uang itu, kan, memang dari elite politik sendiri, kan, begitu," katanya kepada JPNN (Radar Cirebon Group).

Deddy mengatakan partai dan kontestan politik yang membangun basis dukungan di bawah, tidak memerlukan uang besar untuk meraup suara. Berbeda hal ketika mereka tak memiliki kekuatan akar rumput. “Kalau mau main jalan pintas, mau tidak mau, pasti main uang besar," kata eks aktivis Walhi itu.

Tag
Share