Karena Ulah Elite, Bukan Rakyat
Proses distribusi logistik Pilkada 2024 oleh KPU Kabupaten Cirebon, belum lama ini. Jika wacana pilkada dikembalikan ke DPRD terwujud, maka tak ada lagi kesibukan distribusi logistik pilkada.-samsul huda-radar cirebon
BACA JUGA:Kecewa atas Penggelapan Dana oleh Oknum Manajemen
Ia mengatakan biaya pilkada yang dianggap mahal bisa diturunkan dengan cara intervensi, yakni pemerintah membuat aturan ketat agar kontestasi tidak ugal-ugalan. “Pertanyaannya sekarang, sebenarnya seberapa jauh pemerintah betul-betul ingin membuat pilkada itu tidak ugal-ugalan seperti pemilu-pemilu yang terakhir itu," kata legislator Komisi II DPR RI itu.
PDIP, kata Deddy, memang belum melakukan penelitian terhadap usul mengembalikan pilkada ke DPRD seperti diucapkan Prabowo. Namun, kata Deddy, PDIP ingin pemilihan tetap seperti sekarang ketika rakyat punya hak langsung memilih pemimpin di daerah. “Pada prinsipnya, kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan di tangan rakyat. One man, one vote," ujarnya.
TAK RELEVAN LAGI UNTUK DIBAHAS
Sementara itu, banyak kekhawatiran jika pemilihan kembali diserahkan kepada DPRD akan mengurangi partisipasi rakyat dan memperbesar potensi transaksi politik di balik layar. Usulan untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD adalah wacana lama yang sudah tidak relevan untuk dibahas lagi.
Hal itu ditegaskan Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat) Sugiyanto melalui keterangan tertulisnya, Minggu 15 Desember 2024. “Pilkada lewat DPRD kontraproduktif terhadap semangat reformasi yang diperjuangkan pada 1998," kata Sugiyanto.
BACA JUGA:Selena Gomez: Bahagia Dilamar oleh Benny Blanco
Soal pilkada langsung kerap dikritik karena berbiaya tinggi, menurut Sugiyanto, hal itu bukan hanya terkait sistem pemilu, melainkan karena regulasi dan praktik politik yang belum optimal. “Sistem pilkada langsung, jika diatur dengan lebih ketat dan transparan sebenarnya bisa mengurangi biaya politik, termasuk persoalan politik uang atau money politik," kata Sugiyanto.
Masalahnya, kata Sugiyanto, adalah banyaknya celah dalam regulasi. Seperti lemahnya pengawasan dana kampanye yang menjadi pintu masuk bagi politik transaksional. “Partai politik juga memiliki andil besar dalam menciptakan ekonomi biaya tinggi, karena sering berorientasi pada kemenangan semata, tanpa memperhatikan keadilan publik dan idealisme," kata Sugiyanto.
Jika alasan utama perubahan adalah biaya tinggi, kata Sugiyanto, maka seharusnya fokus diarahkan pada evaluasi sistem dan penguatan regulasi. Gagasan untuk mengganti mekanisme yang telah memberikan ruang lebih besar kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya, lanjut Sugiyanto, justru dapat dianggap sebagai suatu ketidakadilan
BERIKAN SOLUSI
Sugiyanto pun mengusulkan sejumlah langkah strategis untuk menekan biaya pelaksanaan pilkada serentak, yang selama ini dianggap membebani negara. “Pemanfaatan teknologi digital, baik untuk kampanye maupun pemungutan suara, dapat memangkas berbagai biaya yang biasanya diperlukan," kata Sugiyanto.
BACA JUGA:Paula Verhoeven Tetap Diam
Kampanye, misalnya, bisa dilakukan melalui media sosial atau platform daring resmi yang diawasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Metode ini tidak hanya menghemat biaya tetapi juga meningkatkan transparansi.
Ia juga mengusulkan penerapan sistem e-voting, yang memungkinkan pemilih memberikan suara secara daring. Dengan cara ini, kebutuhan logistik fisik seperti surat suara, kotak suara, dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dapat diminimalkan. “Dalam hal pemungutan suara, penerapan e-voting menjadi solusi modern," kata Sugiyanto.