Logika vs Pengalaman
Zul Jalali Wal Ikram-istimewa-radar majalengka
Oleh: Zul Jalali Wal Ikram
JIKA kita bertanya, “Dari mana pengetahuan berasal?”, jawabannya mungkin akan berbeda tergantung pada cara pandang seseorang. Dalam sejarah filsafat, dua pandangan besar sering kali mendominasi diskusi ini. Rasionalisme percaya bahwa pengetahuan lahir dari logika dan akal budi, sementara empirisme menegaskan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan. Namun, apakah pengetahuan hanya bisa berasal dari salah satu? Di era modern ini, sudah saatnya kita memandang keduanya sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Rasionalisme mengajarkan bahwa logika dan akal budi adalah alat utama untuk memahami dunia. Plato, filsuf besar dari Yunani kuno, percaya bahwa pendidikan adalah cara untuk membimbing manusia keluar dari "gua" ketidaktahuan menuju cahaya kebenaran. Dalam The Republic, ia menggambarkan bahwa logika membantu kita memahami realitas sejati, yang sering kali tersembunyi di balik ilusi dunia material.
René Descartes, seorang rasionalis modern, memperluas gagasan ini dengan filosofi yang terkenal: Cogito, ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada). Baginya, logika adalah landasan semua pengetahuan, karena melalui berpikir kita membuktikan keberadaan kita. Pandangan ini menempatkan akal budi sebagai pusat dalam memahami dunia, terutama ketika pengalaman inderawi tidak dapat diandalkan.
BACA JUGA:Pai Supardi Kembali Pimpin PWI Majalengka
Namun, meskipun logika adalah alat yang kuat, ia memiliki keterbatasan. Pemikiran logis sering kali terlalu abstrak dan tidak selalu bisa menjelaskan kerumitan kehidupan nyata. Inilah alasan mengapa pengalaman memainkan peran yang tidak kalah pentingnya.
Sebaliknya, empirisme menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. John Locke, salah satu tokoh besar empirisme, menggambarkan pikiran manusia sebagai tabula rasa (lembar kosong) yang diisi oleh pengalaman hidup. Baginya, kita tidak dilahirkan dengan ide bawaan; semua yang kita ketahui adalah hasil dari pengamatan, percobaan, dan interaksi dengan dunia.
David Hume melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa semua gagasan manusia hanyalah salinan dari kesan inderawi. Misalnya, kita memahami panas karena pernah menyentuh api, atau mengenal rasa asin karena pernah mencicipi garam. Dari pengalaman, kita membangun pemahaman tentang dunia, meskipun kadang pengalaman ini bisa menipu atau tidak lengkap.
Namun, pengalaman saja tanpa refleksi logis bisa menjadi dangkal. Kita membutuhkan logika untuk mengenali pola, mengevaluasi pengalaman, dan menarik kesimpulan yang dapat diandalkan.
BACA JUGA:Brighton Kirim Ultimatum ke Klub Kroasia
Ketegangan antara rasionalisme dan empirisme telah melahirkan banyak debat filosofis. Namun, filsuf seperti Immanuel Kant dan Hegel menunjukkan bahwa keduanya sebenarnya saling melengkapi. Kant, misalnya, percaya bahwa pikiran manusia memiliki kerangka bawaan yang membantu kita menafsirkan pengalaman. Dengan kata lain, pengalaman memberikan bahan mentah, tetapi logika memberikan struktur untuk memahami bahan tersebut.
Hegel melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan konsep dialektika, yaitu proses sintesis antara tesis (logika) dan antitesis (pengalaman) untuk menghasilkan pemahaman yang lebih dalam. Dalam pendidikan, pendekatan ini mengajarkan bahwa pembelajaran terbaik adalah yang menggabungkan teori dengan praktik, logika dengan pengalaman.
Sri Aurobindo, seorang filsuf dan pendidik India, menawarkan pendekatan yang serupa. Baginya, pendidikan harus membantu individu menggali potensi terbaik dalam dirinya melalui perpaduan rasionalisme dan empirisme. “Pendidikan adalah penggalian potensi jiwa, bukan sekadar pemberian pengetahuan eksternal,” tulisnya.
Buku Textbook of Educational Philosophy menekankan bahwa pendidikan memiliki berbagai fungsi penting dalam membentuk pengetahuan, di antaranya: pertama, pengembangan kemampuan alami. Pendidikan membantu manusia mengasah kemampuan berpikir kritis, berimajinasi, dan merefleksikan dunia di sekitarnya. Ini sejalan dengan pandangan Gandhi bahwa pendidikan harus mencakup tubuh, pikiran, dan jiwa. Kedua, pembangunan karakter.