Seraya mengamati lakon politik akhir-akhir ini, keberadaan aurat politik tampaknya cukup samar. Inkonsistensi ditampilkan secara telanjang. Keputusan-keputusan nirempati pada kedaulatan rakyat disajikan tanpa rasa bersalah.
Pada titik ini, kita tentu dihadapkan pada kebingungan karena ‘aurat’ itu bukan untuk dilihat. Kalau kita melihat ‘aurat’, bagaimana seharusnya kita bersikap? Lalu, kalau ‘aurat’ terlihat, yang salah adalah pihak yang melihat atau pihak yang mengizinkan ‘aurat’ miliknya terlihat?
BACA JUGA:Tips Penting Bagi Pengendara Pemula Sebelum Berkendara
Bisa jadi, ada semacam ketidaktahuan yang akut untuk membedakan mana yang ‘aurat’ dan mana yang ‘bukan aurat’ dalam etika politik.
Padahal, etika politik (sebagai sebuah studi filsafat politik) secara tegas memberikan garis demarkasi antara etika jabatan dan etika kebijakan.
Dalam etika jabatan (politik), tingkah laku dan metode yang digunakan oleh seorang pejabat publik adalah objek telisik etika.
Ketidakpatutan sedapat mungkin tidak ditampilkan dalam masa jabatan (politik) tersebut melekat. Selanjutnya, dalam etika kebijakan (publik), kebijakan dan kepastian hukum yang mendasari lahir dan terlaksananya kebijakan tersebut menjadi perhatian utama.
BACA JUGA:Apel Pagi Pegawai Dinas PUTR Tandatangani Pakta Integritas Netralitas dalam Pilkada
Tanpa pemahaman yang jelas ihwal etika politik, kita patut pesimis bahwa elite politik dapat menahan diri untuk menampilkan hal-hal yang sepatutnya tidak dilihat oleh masyarakat umum. Disampaikan sebelumnya bahwa ‘aurat’ memiliki makna ‘memalukan’.
Elite politik sepatutnya memiliki rasa malu apabila perilakunya tidak mencerminkan jabatan yang diemban atau kebijakannya tidak memiliki nuansa keadilan.
Lebih jauh lagi, mempertimbangkan isu yang berkembang hari ini, nuansa kepentingan golongan justru dipertontonkan tanpa ada kesadaran bahwa hal semacam itu adalah ‘aurat’.
Tergelitik oleh pertanyaan Mbah Nun, pada esai di atas, ”Dan politik: pria atau wanitakah ia?” Kalau perempuan, auratnya tentu saja seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
BACA JUGA:Musim Kemarau, BPBD Siaga Bencana Kebakaran 24 Jam
Kalau laki-laki, auratnya anggota tubuh antara pusar hingga lutut. Menariknya, dalam bahasa Urdu, ‘aurat’ memiliki arti ‘perempuan’. Lalu, politik ini sebetulnya lelaki atau perempuan? Kalau perempuan, seharusnya praktik berpolitik sungguh harus tertutup; ya hanya sedikit-sedikit saja yang ditampilkan, sisanya aurat.
Politik harus ‘merahasiakan’ keburukan dan ‘menampilkan ‘kemaslahatan khalayak’. Kalau laki-laki, seolah tidak ada aurat. Saat melihat laki-laki bertelanjang dada, kita biasa-biasa saja meskipun norma umum menganggap itu tidak patut, bahkan beberapa orang merasa malu.
Apakah praktik berpolitik lebih berorientasi pada aurat laki-laki? Ditampilkan tanpa malu, dan hanya sedikit yang ditutupi; sangat sedikit malah. Itu juga sudah tetap memalukan.