Artinya, segala yang teramati dapat didekati cara pemaknaannya serupa membaca teks; seperti pada gestur, sikap, dan unsur-unsur paralinguistik lain.
Kalau diperhatikan, esai-esai Mbah Nun tampak mempraktikkan dekonstruksi yang dimaksud oleh Derrida. Topik-topik yang telah mapan dan berkelindan pada benak-praktik masyarakat secara samar-samar atau terang-terangan didekonstruksi melalui beragam tafsir-tafsir sosial yang baru.
Para penikmat tulisan Mbah Nun cenderung telah terbiasa untuk tidak pernah mengambil kesimpulan yang tunggal, absolut, dan universal dari argumentasi-argumentasi Mbah Nun.
BACA JUGA:Zacky x Pupun Kapten dan Bian Gindas Tandai Ditutupnya Gelaran Kuningan Fair 2024
Seolah, setiap pembaca selalu dapat memberikan pemaknaan baru pada setiap isu yang disampaikan. Semangat dekonstruksi dan pemaknaan semacam ini pada akhirnya membuat konsep Derrida dan praktik Mbah Nun bertemu pada titik yang presisi, yaitu kebenaran atau makna yang diperoleh bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan kebenaran baru, sampai seterusnya.
Aurat dan Gender Politik
Kembali pada bagian esai Mbah Nun di atas, pengandaian tubuh negara yang serupa dengan tubuh manusia adalah sebuah pembuka logika yang sangat halus.
Aurat yang sudah secara mapan selalu berkaitan dengan tubuh manusia kemudian didekonstruksi dalam makna lain pada tubuh negara.
BACA JUGA:Akibat Korsleting Listrik, Ponpes Al Islah Desa Sudimampir Kebakaran
Laksana tubuh, kita tentu saja memafhumi bahwa ada bagian dari tubuh negara (beserta perangkat-perangkatnya) yang patut dan tidak patut untuk diperlihatkan. Hal itu disebut aurat.
Kata aurat berasal dari bahasa Arab yaitu: “’awira", artinya hilang perasaan. Kalau dipakai untuk mata, maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya.
Pada umumnya, kata ini memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan, dan mengecewakan. Selain itu, kata aurat berasal dari kata “’ āra”, artinya menutup dan menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya.
Ini berarti, bahwa aurat itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang.
BACA JUGA:Upaya Jemput Bola, Kejar Target Tagihan PBB
Selanjutnya, kata aurat berasal dari kata “a’wara”, artinya, sesuatu yang jika dilihat, akan mencemarkan. Jadi, aurat adalah suatu anggota badan yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.
Pertanyaan selanjutnya tentu saja akan sangat bernada sarkastis. Apakah dalam politik dikenal konsep aurat? Apakah ada hal-hal yang tidak patut ditampilkan dalam berpolitik, selain ihwal kongkalikong di belakang meja?