Oleh: Yoyon Suryono*
PERLU dijelaskan terlebih dahulu bahwa pendidikan dasar yang dimaksud adalah sekolah dasar sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pendidikan itu mencakup pendidikan formal (persekolahan), pendidikan nonfomal (pendidikan luar sekolah), dan pendidikan informal (pendidikan dalam keluarga dan masyarakat).
Sudah sejak tahun 1990-an pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, yaitu sekolah dasar 6 tahun dan sekolah menengah pertama tiga tahun.
Kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan istilah pendidikan dasar satu atap dengan tetap 6 dan 3 tahun yang secara kelembagaan tetap terpisah.
BACA JUGA:Jaksa Jawab PK Saka Tatal: Tak Konsisten, Novum Hanya Didapat dari Medsos
Ketika wajib belajar 9 tahun digaungkan pada tahun 1990-an tentu dengan konsekuensi pembiayaan dari pemerintah dengan sekecil mungkin pembiayaan dari orang tua atau masyarakat. Secara kuantitatif gerakan wajib belajar itu relatif berhasil secara nasional.
Atas keberhasilan itu kemudiaan digagas lanjutan dari wajib belajar 9 tahun dalam bentuk pendidikan universal pada tingkat sekolah menengah atas pada tahun 2000-an.
DAMPAK PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024/2025 memunculkan banyak masalah dan protes masyarakat.
BACA JUGA:Indonesia vs Malaysia: Misi Lolos Final
Pasalnya peserta didik baru jumlahnya banyak tapi sekolah yang (baik) terbatas dan dibatasi dengan sistem regionalisasi yang ditengarai tidak adil dan banyak manipulasi nilai rapor dan tempat tinggal.
Di samping itu keluhan masyarakat muncul berkait dengan berbagai macam pungutan yang berpotensi masuk dalam kategori pungli atau pungutan liar.
Ujung cerita dari beberapa masalah dan protes masyarakat dalam PPDB merembet ke alokasi anggaran pendidikan.
ANGGARAN PENDIDIKAN
BACA JUGA:Bacawalkot Cirebon Dapat Anugerah Satu Inspirasi 2024