Sekarang saya kira belum terlambat jika Disdik DKI Jakarta mau memperbaiki. Minta maaf, akui kesalahan. Kemudian duduk bersama, buka dialog dengan para guru. Cari solusi bersama. Pendekatan kekuasaan tak akan menyelesaikan masalah.
Tapi sepanjang pengetahuan saya, tak pernah ada pejabat di Indonesia yang mengakui kesalahan. Tak pernah ada pejabat yang mengundurkan diri akibat salah mengambil kebijakan. Pejabat kita gengsinya sangat besar.
Yang sering terjadi justru cuci tangan, menuding orang lain. Lari dari tanggungjawab. Melempar persoalan. Dalam masalah ini pihak Disdik tak bisa melepaskan tanggungjawab seakan mereka tak mengetahui keadaan sebenarnya, bahwa jumlah guru memang kurang. Bahwa mereka diangkat atas dasar untuk menutup kekurangan tersebut.
BACA JUGA:Pelajar Pancasila Anti Radikalisme
Saya yakin kepala sekolah pun ketika mengangkat guru honorer sepengetahuan pihak Disdik. Setidaknya pengawas sekolah sebagai kepanjangan tangan Disdik di lapangan mengetahuinya.
Bisa jadi mengijinkan pengangkatan guru honor teresebut pada awalnya. Sepatutnya ini menjadi pembelajaran bagi semua. Bahwa dalam menyelesaikan masalah kita seharusnya mengenali akar masalah sesungguhnya.
Kemudian menguraikannya dari A sampai Z. Baru setelah itu dirumuskan solusi yang bisa mencabut akar masalah yang dihadapi sehingga masalah akan segera hilang untuk selamanya.
Sekali lagi akar masalah guru honorer sesungguhnya adalah kekurangan jumlah guru di sekolah. Tanggungjawab pemerintah menutupi kekurangan dimaksud dengan mengangkat guru ASN.
BACA JUGA:Kasus Vina dan Eky, Bareskrim Polri Gelar Perkara Dugaan Keterangan Palsu Aep dan Dede
Opsi yang dipilih selama ini sebenarnya sudah tepat. Membuka rekuitmen CPNS bagi lulusan kependidikan yang baru menyelesaikan study. Mengangkat PPPK dari tenaga honorer. Persoalannya ada pada jumlah.
Jumlah pengangkatan jauh lebih kecil dari jumlah kebutuhan guru di sekolah. Itu semua akan kembali ke anggaran.
Kalau pemerintah serius ingin menyelesaikan masalah alokasikan anggaran besar-besaran untuk pemenuhan kebutuhan guru di sekolah. Hanya keberanian dan tekad untuk itu tak ada.
Kenapa karena memang pendidikan tidak sepenuhnya dianggap penting. Banyak hal yang lebih dianggap penting sekadar memenuhi kebutuhan guru membangun jalan tol atau proyek infrastruktur lainnya misalnya.
BACA JUGA:Kasus Vina dan Eky, Saka Tatal Bebas Wajib Lapor
Untuk urusan infrastruktur pemerintah berani berhutang ke luar negeri karena dianggapnya sangat penting. Bagaimana dengan soal kekurangan guru? Pentingkah?
Walhasil pembangun sumber daya manusia (SDM) itu sangat penting. Pendidikan merupakan salah satu upaya menyiapkan SDM Indonesia menatap masa depan.