Oleh: Sukanda Subrata*
CEUK batur mah kuring teh budak jalanan. Gawe ukur ngamen dina kandaraan. Sabenerna hate ngarasa nalangsa. Puguh hirup ragap taya, kolot teu apal dirupa.
Jeung deui duka di mana. Mun panas kapanasan. Mun hujan kahujanan. Mun reup peuting ngadon sare di emperan.
Da puguh hirup di jalan, henteu boga patempatan. Pikeun pangbalikan. Ti mana ti mana atuh ti mana. Diri kuring ti mana atuh asalna. Kumaha kumaha atuh kumaha.
BACA JUGA:Implementasi Jiwa Kewirausahaan
Diri kuring na kumaha mimitina, Ya Allah paparin abdi pituduh. Na di mana kolot abdi teh ayana.
Paragraf di atas sebenarnya berupa lirik lagu Sunda yang berjudul Budak Jalanan karangan Yayat S, dinyanyikan oleh seorang anak bernama Kustian.
Lagu ini sempat populer di tahun 2000-an. Liriknya memang menggambarkan kondisi yang ada. Musiknya bikin adem enak didengar kapan saja.
Lagu di atas menceritakan kehidupan pilu seorang anak jalanan. Sehari-harinya ngamen di dalam kendaraan, tidur di emperan karena tidak punya rumah.
BACA JUGA:Nasabah Unit Kedokan Bunder Boyong All New Avanza Tipe G
Bahkan dia tidak tahu seperti apa wajah orang tuanya. Setiap malam dia berdoa agar bisa bertemu dengan orang tuanya meski sejenak.
Bagi orang yang masih punya nurani pasti akan pecah air mata begitu mendengar lagu ini. Anak jalanan selama ini dianggap biasa oleh masyarkat maupun pemerintah daerah. Selama ini pemerintah tidak serius menangani permasalahan anak jalanan (membuat peraturan daerah).
Kita sangat mudah melihat pemandangan kelam anak-anak jalanan yang berkeliaran di jalanan mencari sesuap nasi untuk saat itu. Ibarat ayam peribahasanya koreh koreh cok. Saat itu dapat rizki saat itu pula dimakan.
Jadi bagaimana kehidupan mereka bisa berubah jika tidak ada ikhtiar pemerintah daerah. Kalau negara sih sudah mengatur dalam UUD 45 Pasal 34 ayat 1 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.
BACA JUGA:Ratusan Jiwa Terdampak Banjir