Oleh: Sukanda Subrata*
JELANG akhir tahun pelajaran dan awal tahun pelajaran, tiga elemen masyaratakat ini dibuat super sibuk. Ini berlangsung sudah sangat lama, bahkan penulis alami ketika masih menjadi siswa (SMP PGRI Ciledug tahun 1982).
Pertama yang sibuk itu pihak sekolah (guru), kedua siswa, dan ketiga orang tua siswa. Sekolah sibuk mengerjakan adiministrasi kemuridan seperti pelaksanaan Penilaian Akhir Tahun. Oleh karena sekolah harus mengolah nilai siswa semester genap dan mencetak nilai.
Selanjutnya nilai semester ganjil dan semester genap tersebut digabungkan untuk menentukan siswa naik kelas atau tidak. Tentu sebagai laporan kepada orang tua siswa dan laporan kepada Dinas Pendidikan. Maka bentuk syukur rampungnya satu tahun pembelajaran munculah acara kenaikan kelas.
BACA JUGA:Pj Walikota Cirebon : Pilkada di Kota Cirebon Harus Sukses Tanpa Ekses
Kenaikan kelas identik dengan pentas seni. Jauh sebelumnya pihak sekolah bersama komite sekolah berembuk untuk menentukan berapa besarnya anggaran yang dibutuhkan dan jenis apa saja yang akan dipentaskan. Begitu terjadi kesepakatan, dijatuhkan nominal biaya kepada orang tua siswa.
Dari sinilah berawal ketidakberesan pengambilan keputusan. Meski orang tua siswa sudah terwakili oleh komite sekolah, komite sekolah tidak mengetahui kemampuan finansial orang tua siswa secara personal. Mestinya yang rapat itu perwakilan orang tua siswa dari masing-masing kelas, minimal dua puluh lima persennya.
Dengan begitu sekolah dan komite sekolah mengetahui kemampuan orang tua secara umum. Saat itu bisa membuat keputusan bersama. Nantinya sekolah hanya mengerjakan yang bersifat teknis dan penyedia tempat. Semua biaya ditanggung oleh orang tua siswa, boleh juga sekolah menutup kekurangan biaya jika terjadi minus.
Jika keputusan musyarah hanya diambil dari pihak sekolah dan komite sekolah, berarti musyawarah tersebut tidak memperhatikan sisi kemanusiaan. Kemampuan keuangan orang tua siswa berbeda. Ada yang mampu, ada yang kurang mampu, bahkan ada yang tidak mampu.
BACA JUGA:Siraman Rohani, Warga Binaan Lapas Cirebon Dengarkan Khotbah
Kondisi seperti ini harus dijadikan pertimbangan dalam musyarah. Misalnya: orang tua yang mampu membayar jangan disamakan dengan yang kurang mampu dan yang tidak mampu. Tapi mustahil. Biasanya disamaratakan.
Jadi hendaknya pihak sekolah dan komite sekolah dalam membuat kebijakan itu jangan serampangan, agar tidak terjadi image negatif bagi sekolah. Namun faktanya banyak sekolah melakukan hal yang sama. Sekolah menggelar acara kenaikan kelas secara royal, serba mewah, menyewa panggung, sound dan grup seni.
Mengapa tidak memberdayakan potensi yang dimiliki oleh sekolah. Di sekolah pasti ada guru seni budaya, ada guru bahasa Indonesia, di mana mereka ini punya kemampuan untuk dipresentasikan setahun sekali. Tapi bisa dibilang masih beryukur sebesar apapun biayanya, seluruh warga sekolah bahkan orang tua siswa bisa menyaksikan.
Yang sampai kini tidak habis pikir adalah adanya daftar ulang kenaikan kelas. Begitu siswa berangkat sekolah, siswa diharus membayar sejumlah uang untuk pembayaran yang tidak jelas. Jika tidak membayar maka siswa tersebut tidak bisa diterima di kelas baru. Padahal sudah jelas tertera di dalam buka raport siswa yang bersangkutan naik kelas.
BACA JUGA:Dalam Penanganan Bencana Kekeringan, Dinsos Lebih Fokus pada Pascabencana