Sederhana itu adalah pilihan. Hidup sederhana bukan karena kekurangan, bukan karena keterpaksaan. Ada pemilik sejumlah perusahaan yang menggunakan mobil tahun 1990-an.
Padahal direktur perusahaannya memiliki mobil mewah. Pemilik perusahaan ini bersahaja. Dia tidak ingin memperlihatkan kekayaannya.
Dia hanya ingin banyak orang memanfaatkan kekayaannya. Dia ingin berbagi. Dia menikmati sebagai orang biasa. Dia taat membayar pajak.
BACA JUGA:Jelang Akhir Pekan, Harga Emas Antam Terjun Bebas Rp20 Ribu per Gram, Ini Harga Termurahnya!
Dia taat membayar zakat. Dia biasa sedekah. Dia ingin menjadi hamba biasa. Dia tidak ingin hidup sepi, menjauhi keramaian.
Sederhana sebenarnya adalah kenikmatan karena tidak rumit. Anna Sabandina membayangkan orang sederhana hanya cukup memenuhi kebutuhannya.
Perilakunya tidak tergantung dengan kekayaannya. Tidak terusik dengan lingkungan yang lebih mewah. Orang sederhana tetap menjalankan segala hal berdasarkan keyakinan yang benar.
Segala hal telah diperhitungkan dengan basis hati. Hati yang tidak merugikan orang lain. Hati yang tetap teguh menjaga kebersamaan dengan orang lain.
Orang sederhana berpikir sederhana dalam segala hal. Pada saat ingin makan dia bisa dan biasa makan apa pun dan di mana pun.
Berbeda dengan orang yang tidak sederahan yang pikirannya rumit. Mereka berpikir “lambat” pada saat ingin makan siang.
Mereka mencari tempat yang nyaman. Mereka membayangkan menu yang bervariasi, yang mewah. Mereka mencari teman yang seselera.
Orang-orang rumit seperti ini mesti mempunyai “kesabaran” tingkat tinggi karena memesankan tempat untuk makan sebulan kemudian.
BACA JUGA:ASPPI Minta Jaga Kenyamanan Wisatawan Saat Berkunjung di Kota Cirebon
Salah satu perilaku hidup sederhana adalah menjalankan segalanya berdasarkan apa yang kita punyai, tidak bergantung kepada hal yang belum dimilikinya.
Menggunakan milik sendiri itu sederhana. Orang sederahan bahagia dengan milikinya sendiri. Kita dapat menggunakannya sesuai dengan kebutuhan.