Di Pasuruan misalnya, dalam konflik antara warga Desa Sumber Anyar dengan TNI AL terkait lahan tahun 2008, setelah warga kalah di pengadilan kemudian perselisihan berlanjut dan 4 warga desa tewas dalam konflik tersebut.
Bergantinya kepresidenan dari SBY ke Jokowi ternyata persoalan agraria tidak juga membaik. Hernanda Ayudya (2021) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa sejak tahun 2015 sampai tahun 2020 terdapat konflik agraria sebanyak 2.291 kasus.
Berdasarkan laporan Tim Reforma Agraria Staf Presiden (KSP), saat ini terdapat 223 persoalan pertanahan, di antaranya terkait PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan tercatat sebagai pengaduan masyarakat.
BACA JUGA:Penetapan Nomor Urut Calon Bupati Cirebon Sudah Dilaksanakan, Inilah Urutan 1 Sampai 4
YLBHI juga mencatat bahwa proyek-proyek strategis nasional telah menghujani masyarakat dengan 43 kasus kriminalisasi dan 212 orang petani menjadi korban.
Presiden Jokowi telah memberikan izin konsesi lahan sebanyak 11,7 juta hektare selama menjabat pada 2014-2022 (dataindonesia.id).
Selain itu, menurut Forest Watch Indonesia dalam kurun waktu 3 tahun (2018-2021), Jokowi melakukan deforestasi (penggundulan) di wilayah IKN mencapai 18.000 hektare, dengan 14.010 hektare di berada di hutan produksi, 3.140 hektare di Area Penggunaan Lain, sisanya 807 hektare di taman hutan raya, 9 hektare di Hutan Lindung, 34 hektare di area lainnya. Kemudian sepanjang 2022 dan sampai Juni 2023 luas areal terdeforestasi mencapai 1.663 hektare.
Bahkan KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
BACA JUGA:Nomor Urut Paslon Walikota dan Wakil Walikota Cirebon Resmi Diumumkan, Berikut Info Lengkapnya
Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan oleh aparat dan 1.615 warga ditangkap polisi dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa.
Kondisi ini diperparah dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 yang memberikan HGU hingga 190 tahun, HGB 160 tahun, dan hak pakai 160 tahun.
Ini bukan hanya tidak menjalankan UUPA, tetapi lebih tepatnya penghianatan kepada UUPA. Artinya, menghianati cita-cita UUPA yang menjamin keadilan terhadap penguasaan tanah.
Betapa ekstrem konsentrasi kekayaan yang terjadi di Indonesia akibat ketimpangan agraria. Dapat dibayangkan, data dari Lembaga Penjamin Nasabah menunjukkan bahwa separuh lebih aset agraria yang terkait tanah (begitu pula, separuh lebih aset keuangan di lembaga perbankan nasional) ternyata dikuasai oleh segelintir elite ekonomi yang jumlahnya tidak mencapai 0,5% dari total populasi.
BACA JUGA:Bakti Kesehatan TNI Digelar Korem 063 Sunan Gunung Jati, Rangkaian HUT Ke-79 TNI
Konsentrasi kekayaan semacam ini juga dilaporkan oleh Credit Suisse, yaitu 1% warga terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional, sementara 10%-nya menguasai 74,8% kekayaan nasional.
Itu sebabnya, Indonesia ditempatkan oleh lembaga ini pada peringkat keempat di antara negara-negara paling timpang sedunia, di bawah Thailand, Rusia dan China.