Inggris Siap Memperketat Undang-Undang untuk Menangani Konten Ilegal di Internet
Undang Undang Keamanan Online yang diberlakukan di Inggris sejak Oktober 2023, mewajibkan perusahaan teknologi untuk menghapus konten ilegal dan berbahaya dari platform mereka.-istimewa-radar cirebon
LONDON - Pemerintah Inggris bersiap untuk memberlakukan peraturan yang lebih ketat guna mengendalikan distribusi konten ilegal di internet, menyusul kerusuhan yang terjadi di negara tersebut. Hal ini dilaporkan oleh CNBC, yang mengutip dua sumber di sektor industri terkait.
Undang Undang Keamanan Online yang diberlakukan di Inggris sejak Oktober 2023, mewajibkan perusahaan teknologi untuk menghapus konten ilegal dan berbahaya dari platform mereka. Ketidakpatuhan terhadap persyaratan tersebut dapat mengakibatkan denda oleh regulator media Ofcom, sementara para manajer senior perusahaan tersebut bisa dikenai hukuman penjara.
Pembahasan mengenai kemungkinan revisi undang-undang tersebut sedang berlangsung, dan hal ini dipicu oleh pernyataan pengusaha Amerika Serikat Elon Musk, terkait situasi di Inggris. Musk menyatakan di X: "Perang saudara tidak bisa dihindari." Namun, juru bicara Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menegaskan bahwa pernyataan Musk tidak didasari oleh fakta.
Kerusuhan di Inggris dimulai setelah terjadinya insiden penikaman yang menewaskan tiga anak-anak dan melukai beberapa lainnya di sebuah klub menari di Southport pada 29 Juli 2024. Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun ditangkap oleh polisi dan didakwa dengan 3 tuduhan pembunuhan serta 10 percobaan pembunuhan.
BACA JUGA:Pertemuan Mahmoud Abbas dan Vladimir Putin: Bahas Palestina, Konflik Gaza, dan Dukungan Rusia
Sebagian besar masyarakat Inggris merespons serangan tersebut dengan melakukan aksi protes yang akhirnya berubah menjadi bentrokan dengan polisi. Kericuhan terjadi setelah muncul unggahan tanpa dasar yang menyatakan bahwa pelaku penikaman merupakan seorang imigran. Namun, pelaku kemudian diidentifikasi sebagai warga yang lahir di Wales dan merupakan keturunan dari orang tua yang berasal dari Rwanda. (antara/jpnn)