Praktik Konstitusi di Lapangan
ilustrasi--
BACA JUGA:Curhat Warga saat Pemilu Awal: Tolong Perbaiki Jalan dan Benahi PPDB
Esensi politik, setidaknya berdasarkan teori filsafat politik, selalu menyangkut mengenai kepentingan bersama. Dalam penyelenggaraan kehidupan bersama ini maka dibentuklah pembagian kerja dalam suatu wilayah hunian kekuasaan.
Proses ini selanjutnya menyusun dan menetapkan fungsi-fungsi pengaturan, sang pengatur, mereka yang diatur, dan wilayah pengaturan.
Sistem demokrasi memberi kita ruang dan kesempatan untuk memilih siapa yang mengatur dan bagaimana ia mengupayakan pengaturan kehidupan bersama itu.
Maka pertanyaan pertama yang semestinya hadir dan kita uraikan ialah: Hidup bersama seperti apa yang kita inginkan? Acuan untuk menjawab pertanyaan ini dapat kita telah dalam konstitusi.
BACA JUGA:Eti Unggul Telak pada Pemilu Awal di Kelurahan Sukapura Kota Cirebon
Prof Budiono Kusumohamidjojo dalam bukunya berjudul Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21 mengemukakan perintah konstitusi itu kepada pemerintah, antara lain:
melaksanakan hukum untuk menjamin berlakunya ketertiban dan keamanan; memberikan perlindungan dari ancaman keselamatan dan penerobosan hukum;
memfasilitasi warga agar bebas berkarya dalam mencapai kesejahteraan; dan melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Sebagai warga kota, mungkin kita semestinya lebih banyak mempercakapkan tentang bagaimana mengusahakan dan mewujudkan kehidupan bersama tersebut, agar kita dapat memenuhi kebutuhan hidup bersama.
BACA JUGA:Putusan Sidang Praperadilan Pegi Setiawan, Hakim Tegaskan Objektif
Barangkali dengan mewacanakan hal demikian, pemilihan umum yang digelar mendapatkan relevansinya dengan kehidupan warga secara umum, dan bukan bagi sekelompok elite tertentu.
Bila sebagai warga kota kita mampu mengurai perintah konstitusi itu berdasarkan konteks keadaan yang kita alami, kemudian merumuskannya ke dalam suatu tuntutan kolektif atau yang disebut kontrak sosial, saya kira kita punya harapan untuk melamunkan kemajuan.
Pada masa lampau di dalam kebudayaan Bugis, kontrak sosial inilah yang menjadi dasar dalam kekuasaan seorang pemimpin.
Masyarakat diwakili sejumlah matoa yang kemudian melakukan dialog bersama dengan tomanurung atau raja atau ratu.