Kenapa Dedi Wahidi Harus Maju dalam Pilkada Indramayu 2024?

ilustrasi--

Oleh: H Adlan Daie* 

DR Masduki Duriyat, akademisi sekaligus “semi” pengamat politik menulis “Berdosa rasanya kalau “Dewa” membiarkan ratapan ibu pertiwi itu terus berkelanjutan”, (baca tulisannya “Bumi Wiralodra Menunggu “Dewa” (pro inbar, 5/6/2024). 

Dr Masduki menulis lebih lanjut dalam paragraf berikutnya “sangat beralasan kalau Indramayu menunggu “Dewa” karena sederet pengalaman yang akan menjadi garansi pada kepemimpinannya,” tulisnya dalam tulisan tersebut.

Harapan “sentimental” Dr Masduki di atas adalah harapan “politik” sejumlah ketua partai, kepala desa, para kiai, ketua ormas, koleganya sesama anggota DPR RI dan lain lain yang datang “bertubi-tubi” meminta H Dedi Wahidi maju dalam kontestasi Pilkada Indramayu 2024.

BACA JUGA:Penugasan Gus Mul-Fitria Jangan-jangan Hanya Formalitas, Hingga Sekarang Belum Ada Konsolidasi

“Raisen d etre”, mengutip Jame Smill, yakni alasan yang mendasari kenapa H Dedi Wahidi “harus” maju dalam kontestasi Pilkada Indramayu 2024, penulis mengkonstruksi dalam dua perspektif:

Pertama, Indramayu dengan keragaman dimensi sosial dua juta lebih penduduknya tidak memadai dipimpin pemimpin “recehan”, tidak berpengalaman politik dan tidak memiliki “wibawa” politik dalam “mendirive” tata kelola pemerintahan dan layanan publik.

Terlalu mahal ongkos pilkada yang dibiayai dari pajak rakyat hanya menghasilkan pemimpin “miskin” visi dan merusak tata peradaban birokrasi sebagai layanan publik menjadi “pesuruh” politik. 

H Dedi Wahidi sebagaimana ditulis Dr Masduki di atas memiliki “sederet pengalaman yang akan menjadi garansi pada kepemimpinannya” alias tidak perlu “disulap” dengan sertifikat penghargaan “buatan” untuk berhasil memimpin Indramayu. 

BACA JUGA:Suhendrik Dipasangkan dengan Eti, Herawan: Ini Kejutan Lagi, Dinamika Jelang Piwalkot Makin Menarik

Kedua, terkait peluang menang H Dedi Wahidi “tidak memadai” dibaca dalam peta survei “hari ini’, survei “hari ini” hanya “preferensi” bersifat “pothoshot”, sesaat, potensial berubah “jungkir balik” dalam dinamika proses elektoral menuju hari “H” pencoblosan, lima bulan ke depan.

Dengan kata lain hasil survei lembaga survei apapun “hari ini” ibarat “waktu” barulah fajar menyingsing sementara pilkada baru akan dilaksanakan di waktu “magrib”, lima bulan ke depan, November 2024. Antara waktu “fajar” ke waktu “magrib” bisa jadi langit akan mendung, bahkan terjadi angin politik “puting beliung”.

Secara empiris hal itu terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 dan bahkan Pilkada Indramayu 2020 di mana “calon” begitu kuat di peta survei lima bulan sebelum hari “pencoblosan” terbalik “kalah” di akhir final pilkada.

H Dedi Wahidi memahami dinamika elektoral itu. Kemapanan jaringan politik ideologis yang dimiliknya dengan wibawa politik.kuat, piawai mengkonstruksi koalisi dan pilihan  “wakil” yang “komplementer”, saling menguatkan menjadi “garansi” H Dedi Wahidi “memenangkan” Pilkada 2024, menjungkir balikkan peta survei “hari ini”. 

Tag
Share