Konfrontasi Agama dan Sains
ilustrasi--
Oleh: Achmad Salim*
KONFRONTASI antara agama dan sains adalah permasalahan klasik yang terus menjadi diskursus berkepanjangan.
Tak hanya kaum sekuler penganut aliran positivistik yang mempertentangkan antara agama (religion) dengan sains, tetapi tak jarang pula elite agama, baik yang berstatus akademisi maupun ulama, turut mengabadikan perseteruan tersebut.
Kaum sekuler penganut paham positivistik menilai bahwa kebenaran sains adalah kebenaran obyektif, atau secara umum diistilahkan “ilmu pasti atau eksakta”. Sehingga mereka menolak intervensi agama terhadap sains.
BACA JUGA:Lapar Adalah Maut
Dalam pandangan mereka, agama tidak bisa disamakan dengan sains, karena, seperti dikatakan Syafii Maarif, kebenaran agama adalah kebenaran berdasarkan persepsi pemeluknya. (Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman, 2019).
Dilain pihak, kaum agamawan juga menyatakan bahwa kebenaran di luar kebenaran agama adalah bersifat relatif dan kebenaran agama bersifat mutlak. Jika terjadi dialektika dalam hal kebenaran, maka kebenaran agamalah yang harus dimenangkan.
Louis Leahy (2006) tidak bisa menyembunyikan keresahannya karena betapa seringnya agama ditabrakkan dengan sains dan kosmologi dalam pemahaman kontemporer.
Bagi Leahy, antagonisme atau ketidakpercayaan itu berasal dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan masing-masing atas apa yang terjadi di bidang penyelidikan ilmiah dan apa yang menjadi ciri monoteisme sejati.
BACA JUGA:Kendalikan Inflasi, RW 15 Permata Harjamukti Manfaatkan Lahan Kosong dengan Tanaman Hortikultura
PERGULATAN AGAMA DAN SAINS
Saat pandemi Covid-19 menjangkiti hampir seluruh wilayah dunia, perdebatan tentang otoritas ilmu pengetahuan dan kebenaran agama kembali mengemuka.
Fenomena tersebut dipicu oleh perbedaan sudut pandang tentang bagaimana melawan wabah dan menghentikan penyebarannya.
Sains yang berorientasi pada nalar dan agama yang berbasis pada keyakinan lebih sering dilihat sebagai dua hal yang bertanding daripada bersanding.