Asal-usul Wayang Kulit Cirebon, Hanya Orang Keraton yang Bisa Menikmati, Tema Cerita pun Sangat Dibatasi
Pertunjukan wayang kulit Cirebon dulu hanya biasa tampil di keraton dan alur ceritanya pun sesuai keinginan orang-orang keraton.-dokumen -tangkapan layar
Ia berkembang pesat, mengalami berbagai transformasi dalam aspek visual, dan aspek pendukung lainnya seperti karawitan, sastra, dan sebagainya.
BACA JUGA:Pj Bupati Majalengka : Majalengka Jadi Pintu Gerbang Internasional, Maka Harus Memiliki Daya Saing
Perkembangan ini melibatkan peranan dan pengaruh para ulama Sufi dan pihak penguasa lokal yang telah memeluk Islam.
Bahkan Wali Sanga sendiri terlibat secara intensif di sini, terutama Susuhunan Kalijaga dan putranya Susuhunan Panggung.
Sebagai bukti bahwa raja-raja dan penguasa di pulau Jawa telah berlaku sebagai patron pelindung, penggemar dan pengembang seni wayang.
Umumnya tiap keraton di Jawa memiliki koleksi perangkat wayang kulit jimat sebagai pusaka warisan.
Selain pendukung lainnya seperti perangkat gamelan dan berbagai kesusastraan terkait pakem wayang yang ditulis pihak keraton.
Dalam visual wayang kulit Cirebon nampak berbagai jejak dari beragam kepercayaan dan kebudayaan.
BACA JUGA:Jabatan Kuwu Diperpanjang Jadi 8 Tahun, Mana Aturan Teknisnya? Hingga Sekarang Belum Ada
Ragam hias megamendung-wadasan dan kehadiran wayang Buta Liyong sebagai pengaruh budaya Cina, atribut pakaian jubah dan topi pada boneka wayang Dorna sebagai pengaruh Timur Tengah.
Lebih lanjut, pada gunungan Jaler Cirebon yang menampilkan wujud Dewa Ganesha sebagai pengaruh Hindu dan gunungan Istri yang dipenuhi motif wadasan.
Wayang Cirebon kemudian juga menjadi media diplomasi antara budaya lokal (yang telah menyerap budaya India dan Islam) dengan budaya Barat, contohnya pada wayang Buta Topi.
Wayang kulit Cirebon merupakan contoh peralihan dari wayang zaman Hindu- Buddha ke wayang zaman Islam.