Kesalehan Literasi Digital
Ilustrasi--
BACA JUGA:Syudulimar Tradisi Grage Group Berbagi Dengan Anak Yatim, Duafa Hingga Veteran
Dalam artian, kompleksitas ajaran agama ketika masuk dalam ruang media ia harus tunduk pada logika media. Di antara dampak dari pandangan Hjarvard di atas ialah apa yang oleh Irwan Abdullah (Guru Besar Antropologi UGM) sebut sebagai depersonalisasi, di mana produksi pengetahuan agama tidak lagi didasarkan pada keberadaan tokoh yang otoritatif.
Jika di pesantren konvensional penyampaian ajaran agama selalu didasarkan pada tokoh dengan karisma yang melekat sebagai legitimasi penyebaran agama, di pesantren online justru malah berbanding terbalik dengan menjauhkan pemeluk agama dari ketokohan.
Setiap orang, secara terbuka dapat menjadi produser konten narasi keagamaan meski sama sekali tidak memiliki pengetahuan keagamaan. Setelah menguraikan sisi buruk nyantri hanya lewat online, mari lanjut ke jawaban atas pertanyaan kedua yang sebetulnya juga memiliki kaitan yang erat.
Rasa-rasanya, adagium “al-Isnad min al-din, wa law la al-isnad laqala man sya’a ma sya’a” yang pernah dilontarkan oleh Abdullah bin al-Mubarak dapat menjadi pijakan untuk menjawab pertanyaan kedua yang secara sederhana dapat dimaknai bahwa, sanad keilmuan menjadi instrumen terpenting dalam persoalan produksi pengetahuan agama, sebab jika tanpa sanad siapa pun bisa berkata dengan apa yang ia kehendaki.
BACA JUGA:Pj Wali Kota Bersama Forkopimda Monitoring Gudang Bulog, SPBU hingga Pasar Tradisional
Dengan melihat realitas pola produksi pengetahuan agama di ruang media sebagaimana uraian sebelumnya dan adagium Abdullah bin al-Mubarak di atas, dapat dipertegas bahwa, memang ia semangat umat Islam di bulan Ramadan dalam mengkaji ilmu agama lewat media mengandung bahaya. Bahayanya apa?
Yakni, sangat memungkinkan orang terjebak dengan ‘piti kana-kanai (asal ngomong)’ yang berujung pada pendangkalan atau bahkan penyelewengan ajaran agama.
Dari dua jawaban di atas dapat ditarik tentang perlunya kesalehan literasi digital yang sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan ketiga.
Jika selama ini yang dianggap paling penting ialah saleh secara ritual dan sosial, di era new media saleh secara virtual juga tidak kalah penting. Sebab pada realitasnya, antara manusia modern dengan media sosial telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
BACA JUGA: Siswa SDIT Sabilulhuda, Avika Naura Inggrid Juara 1 Pildacil KOAS Tingkat Jawa Barat
Hampir seluruh lini kehidupan tidak lepas dari media, termasuk di dalamnya produksi pengetahuan agama. Lantas, apa yang dimaksud dengan kesalehan literasi digital?
Singkatnya, ia dapat dimaknai dengan kemampuan mengontrol diri untuk terlibat dalam diskursus keagamaan di ruang media sosial. Mengontrol diri dalam hal ini setidaknya berorientasi pada dua aspek.
Pertama, mengajak diri untuk membatasi bicara. Mengutip pesan Qurasih Shihab dalam salah satu podcast, “jangan berbicara menyangkut apa yang engkau tidak diketahui, jangan semua yang engkau tahu kamu bicarakan, jika ada orang lain yang bisa bicara, diamlah...”.
Kedua, cerdas dalam memilih rujukan keagamaan serta membiasakan diri untuk terlebih dahulu menyaring sebelum menyebarkan konten dakwah di media sosial.