Gugatan 01 dan 03 soal Diskualifikasi Prabowo-Gibran Dinilai Mustahil

Margarito Kamis memberikan pandangan mengenai gugatan paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun kubu 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.-jpnn-radar cirebon

JAKARTA- Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan gugatan yang dilayangkan tim hukum paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD merupakan sesuatu hal yang mustahil dikabulkan.

Menurut Margarito, permintaan kubu Anies-Imin yang meminta cawapres terpilih Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi serta meminta dilakukan pilpres ulang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dan logis sehingga kecil kemungkinan diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Permintaan yang dengan alasan apapun itu permintaan yang dianggap tidak logis. Kenapa Gibran tidak mau diakui sebagai cawapres padahal mereka pada waktu kampanye itu sudah menerima dia sebagai cawapres. Mereka dalam forum debat cawapres itu berdebat dengan Gibran. Itu kan sama dengan menerima eksistensi atau keabsahan dia sebagai cawapres,” ujar Margarito dalam keterangannya, Kamis 28 Maret 2024.

“Ada beberapa kali debat antarcawapres antara Gibran dan dengan Muhaimin dengan Mahfud MD. Nah, sekarang sudah kalah baru suruh Gibran tidak diakui. Kan itu tidak logis,” ujar Margarito.

BACA JUGA:Kampoeng Ramadan Aston Cirebon

Hal serupa yang dinilai tidak logis juga datang dari gugatan Ganjar-Mahfud. Menurut Margarito, permintaan Prabowo-Gibran mendapatkan 0 suara di seluruh provinsi merupakan hal yang konyol. Tak sampai di situ, bagi Margarito, tuntutan kubu 03 yang meminta Pilpres 2024 diulang dengan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran itu juga keliru.

“Tidak mungkin kenapa suara nomor 02 jadi 0 itu tambah konyol dan kalau namanya pemilu ulang tidak dikenal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Yang dikenal dalam undang-undang pemilu itu cuma ada pemungutan suara ulang (PSU), pemungutan suara lanjutan (PSL) dan pemungutan suara susulan (PSS). Cuma tiga itu,” ujar Margarito.

Margario menjelaskan di dalam undang-undang pemilu tidak dikenal adanya istilah pilpres ulang atau pemilu ulang. Sebab kalau itu dilakukan harus kembali mulai dari awal. Mulai dari jadwal atau tahapan pemilu, menyiapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT), daftar capres-cawapres, cetak suara ulang dan sebagainya.

“Nah, pemilu coblos ulang itu misalnya pada mau masuk ke TPS ada administrasi kotak suara ternyata surat suara itu sudah tercoblos atau terjadi intimidasi di sekitar TPS dan sejenisnya yang diatur undang-undang. Kalau syarat-syarat itu ada baru bisa dilakukan pemungutan suara ulang,” urainya.

BACA JUGA:Disdikbud Komitmen Cegah Kasus Perundungan di Sekolah

“Namun, bukan pilpres ulang karena kalau pilpres atau pemilu ulang harus start seluruhnya dari awal, dari DPT baru, capres-cawapres, bikin surat suara baru segala macam baru. Kalau bikin pemilu ulang siapa yang mau kasih duit? Kapan itu dilakukan dan seterusnya dan seterusnya. Dan, yang paling pokok permintaan pemilu ulang itu tidak ada di dalam undang-undang,” sambung Margarito.

Selain itu, Margarito menyinggung soal bukti-bukti yang akan dibawa ke MK oleh para penggugat secara umum diprediksi akan mudah dipatahkan oleh kubu lawan. Margarito mencontohkan tuduhan adannya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang diduga melibatkan para penjabat kepala daerah yang ditunjuk Presiden Jokowi.

“Kalau saya mengatakan secara umum bahwa kalau dilihat sejauh ini misalnya mengatakan aparatur negara pengangkatan penjabat-penjabat bupati, wali kota dan yang lain-lain menurut saya itu juga tidak beralasan. Arrgumentasi itu tidak beralasan walaupun toh didukung dengan bukti surat, pasti surat itu tidak bernilai untuk meyakinkan hakim bahwa kecurangan presiden atau campur tangan orang-orang ini dan dengan demikian dapat diputuskan terjadi pelanggaran terstruktur, tersistematis itu pasti tidak terbukti,” paparnya.

Sebab, Margarito menyatakan pengangkatan para penjabat itu sudah sesuai dengan amanat undang-undang agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah. “Karena pengangkatan penjabat itu kan merupakan akibat hukum karena selesainya jabatan para gubernur dan bupati serta wali kota itu kan jadi harus diisi karena pemerintahan tidak boleh kosong, jadi harus diisi,” katanya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan