Hak Pejalan Kaki akan Dihapus di Kota Cirebon?

Ilustrasi--radar cirebon

Oleh: A Halim Falatehan*

PERTANYAAN ini muncul setelah penulis menghubungkan antara sumpah jabatan (dimulai dari presiden dan wakil presiden) dengan perilaku pejabat (termasuk presiden, gubernur, atau walikota/bupati, anggota DPR RI dan DPRD dan pejabat lainnya) dengan pelaksanaan fungsinya.

Dalam sumpah atau janji Presiden (misalnya) yang diucapkan dengan lantang disaksikan oleh Kitab Suci agamanya di atas kepalanya biasanya menyatakan “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban (Presiden atau Wakil Presiden) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Penulis tidak akan menghubungkan perilaku Presiden, Menteri, atau Gubernur, karena sudah banyak yang memberitakan atau terlalu jauh di Jakarta, Sumatra Utara, Sulawesi atau di Papua.

Tapi yang paling dekat saja di Kota Cirebon yang sering disebut-sebut Kota Wali (Syekh Syarif Hidayatullah), terkait dengan tidak termanfaatkannya trotoar oleh pejalan kaki.

BACA JUGA:Takut Makanan yang Dijual Beracun, Pihak Sekolah Periksa para Pedagang

Trotoar bisa dibangun dengan lebar 0,5 m saja (Permen PUPR No. 5 Tahun 2023 tentang Persyaratan Teknis Jalan. Di Jalan Kesambi sekitar Kuburan Jabangbayi, di Pulasaren dan Jalan Perjuangan Kota Cirebon trotoar beralih fungsi.

Hak warga negara pejalan kaki dilanggar, tidak diberi kesempatan memanfaatkannya, tidak diakui lagi keberadaannya, tapi diambl alih haknya oleh pedagang kaki lima. 

Pemanfaat jalan terpaksa harus berjalan kaki di jalan aspal yang sekarang mulai padat lalu lintasnya. Ini dibiarkan oleh pemerintah daerah.

Kios-kios semi permanen dibangun dengan bebasnya di atas trotoar, sampai-sampai ada yang pasang plang dan iklan usahanya dalam bangunannya yang dilarang untuknya itu. 

BACA JUGA:Hujan Deras, Ini yang Menyebabkan Jalan dan Rumah di Cirebon Terendam Banjir

Mungkin walikota tidak sempat melihatnya karena masih berorientasi program karena baru menjabat. Sedangkan, Kepala Satpol PP masih  menerbitkan baliho para calon legislatif, presiden, dan wakilnya yang tidak seluruhnya tertib.

Penulis melihat pohon di pinggir jalan dijadikan tiang baliho, untuk ngirit biaya calon. Efisiensi biaya?

Tidakkah menempel baliho dipaku di pohon itu merusak lingkungan? Baru jadi calon sudah mau bebas merusak lingkungan, tidak sadar, menanam pohon itu cukup lama menjadi rimbun. 

Tag
Share