Komisi III DPRD Soroti Alun-alun Pataraksa
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon Yoga Setiawan SE menegaskan ambruknya gapura Alun-alun Pataraksa Ambruk perlu evaluasi menyeluruh, kemarin.-SAMSUL HUDA/RADAR CIREBON-radar cirebon
Persoalan ambruknya gapura tradisional Alun-alun Pataraksa terus bergulir. Berbagai spekulasi pun muncul di tengah publik.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon, Yoga Setiawan SE mengatakan, ambruknya gapura Alun-alun Pataraksa dapat dilihat dari dua sisi. Pertama soal pengawasannya dan kedua soal perencanaan dari tim teknis.
Menurutnya, seluruh dinas yang mengerjakan pekerjaan sipil, biasanya minim orang teknis. Sebab, orang teknisnya kumpul di DPUTR. Seyogyanya, seluruh pembangunan sipil diharuskan adanya rekomendasi dari DPUTR dulu. Dikatakan Yoga, konstruksi yang dihasilkan oleh dinas lain pastinya berbeda dengan kontruksi dari DPUTR.
Menurutnya, Disdik, DLH serta dinas yang menyelenggarakan pekerjaan fisik harusnya mendapatkan persetujuan dulu dari DPUTR. Artinya, orang yang meraciknya harus kompeten. “Seperti DLH, itu kan kaitannya dengan lingkungan hidup. Walaupun mereka sebagai pengguna anggaran, tapi apakah ada orang teknisnya? Kan gak ada,” kata Yoga, saat dikonfirmasi melalui sambungan selularnya, Jumat (12/1).
BACA JUGA:Pj Bupati: ASN Kunci dalam Keberhasilan Sistem Pemerintahan
Yang ada, lanjut Yoga, hanya dari konsultan. Harusnya, konsultan bisa tukar pikiran, berkonsultasi dengan orang dinas DPUTR. Ia mengaku akan menyampaikan kepada bupati, kedepan harus ada persetujuan PU terlebih dulu seandainya ada hubungannya dengan proyek pekerjaan fisik yang membutuhkan anggaran besar.
Yang terjadi sekarang (Pataraksa, red), sambung Yoga, saat dikonfirmasi ke DPUTR, dalam pembangunannya tidak ada persetujuan dari DPUTR.
“Karena dari dasarnya sudah engga beres. Kecuali dalam kenyataannya itu DLH sudah mengantongi persetujuan dari DPUTR kemudian bangunan yang dihasilkan ambruk. Nah, ini dipertanyakan,” ucapnya.
Jadi, menurut Yoga, semua pihak layak untuk disalahkan. “Salah kabeh. DLH salah. Konsultan salah. Kita (DPRD, red) juga salah,” tuturnya. “Kaitan berbagai spekulasi yang muncul, itu kan masih dugaan-dugaan, kita kesampingkan saja dulu. Mari benahi sama-sama dari semua sisi,” tandasnya.
BACA JUGA:Harga Beras Naik, Sayur Mayur di Pasar Kepuh Kuningan Stabil
Masih kata Yoga, harusnya proyek strategis yang nilainya diatas Rp2 miliar wajib ada pendampingan dari Aparat Penegak Hukum (APH). Meskipun tidak ada aturan baku, minimal ketika ada pendampingan dari APH penyedia jasa agak segan. Tidak asal-asalan lantaran diawasi.
”Ini harus diatur detail juga terkait pendampingan. Bila perlu diwajibkan. Nanti kita sebagai anggota DPRD akan mendorong untuk dibuatkan regulasinya,” imbuhnya.
Ia khawatir, ketika dua hal itu tidak dilakukan, kedepan kejadian serupa akan terjadi. Artinya, benang merahnya, wajib ditarik. “Dengan demikian, pekerjaan fisik yang ada pendampingan dari APH, semuanya tidak ada temuan, maupun tragedi yang membuat gempar karena semua dipantau,” katanya. (sam)