Nilai Paradoks Feminisme
Ilustrasi-viarami-pixabay
Oleh: Wariah
SEJATINYA, kita tiada henti-hentinya menghadapi pergolakan wacana. Yaitu pergolakan intelektual yang bermuara dari berbagai latar belakang berbeda antara Barat dan Timur –yang dalam hal ini diwakili umat Islam– baik bersumber dari ideologi maupun peradaban.
Meskipun banyak budaya atau produk pemikiran modernis Barat yang kemudian diserap dalam peradaban kita. Namun, hal itu tak bisa dibandingkan dengan lebih banyaknya pemikiran mereka yang kita anggap sebagai kontra-persepsi.
Karena itu, kita tetap waspada agar tak sepenuhnya terpengaruh konsepsi mereka sembari juga bersifat eklektik dalam rangka mampu membedakan mana yang seharusnya perlu kita serap, dan mana yang kita abaikan atau bahkan menolaknya.
Dalam hal ini kita dapat berlindung dalam prinsip ‘Al-Muhafadzatu bil qadimis shalih wal akhdu bil jadid al-ashlah’.
BACA JUGA:YouTuber dan Kontestasi Modal di Arena YouTube
Salah satu pemikiran mereka yang menjadi isu sentral adalah Feminisme. Yaitu sebuah pemikiran yang bertujuan menghapus patriarki, subordinasi, eksploitasi terhadap perempuan atau lain semacamnya, yang menjadikan wanita lebih bersifat inferior daripada laki-laki.
Sehingga mereka merasa, selama ini wanita hidup di bawah lelaki dan terdegradasi dalam kehidupannya sendiri. Demikian mereka anggap sebagai hal yang bersifat dogmatis.
Sesuatu yang berada di bawah agama. Dan hal ini akan tetap sebagaimana adanya jika tak ada revolusi besar-besaran yang mampu mengubah keadaan.
Berbagai kampanye mereka lakukan demi mewujudkan kesetaraan hak gender dari segala sektor; baik politik, jabatan publik, strata sosial, atau semacamnya, dengan berlindung dibalik hak asasi manusia.
BACA JUGA:Lewis Hamilton Ingin Terus Membalap hingga Usia Kepala Empat
Gerakan feminisme pertama kali terjadi di New York, di bawah kepemimpinan Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady, dengan tujuan mempromosikan hak memilih bagi perempuan.
Lebih sekadar itu, feminisme bergerak demi memperjuangkan hak seksual yang kita anggap sebagai sesuatu yang tabu.
Seiring waktu, gerakan ini berkembang pesat. Bahkan, menjadi salah satu pemikiran yang menjadi sumber pemikiran lainnya. Salah satu yang muncul adalah pemikiran Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).