Segmentasi Konten Sosial
Ilustrasi konten sosial.-istimewa-
Oleh: Subandi MHum*
SALAH satu aktivitas bersantai bagi anak yaitu menonton tayangan televisi untuk mengisi waktu luangnya. Beragam tontonan menjadi salah satu alasan mengapa anak-anak menyaksikan tayangan televisi.
Membiarkan anak menyaksikan tayangan televisi juga dapat menjadi momen yang digunakan orang tua untuk beristirahat sejenak dari rutinitas yang tengah dijalankan.
Dari data yang dilansir oleh Nielsen bulan Juni 2024 juga menandai akhir tahun ajaran dan awal liburan bagi sebagian besar anak-anak dan remaja, dan waktu luang tambahan membuat pemirsa berusia 17 tahun ke bawah menunjukkan peningkatan terbesar dalam penggunaan TV di seluruh demografi usia.
BACA JUGA:Antisipasi Indonesia Emas Sekadar Mimpi
Pemirsa yang lebih muda juga membantu mendorong sedikit peningkatan bulanan dalam penggunaan TV secara keseluruhan di bulan Juni (+2,1 persen), yang juga cukup datar dibandingkan dengan Juni 2023 (+1,3 persen).
Artinya meningkatan kepemirsaan di masa libur sekolah khususnya anak tentu belum tentu dibarengi dengan kualitas serapan siaran yang ditonton.
Maka dari itu, membiarkan anak menyaksikan tayangan televisi perlu dilakukan dalam pengawasan orangtua, mengingat tidak semua tayangan televisi disuguhkan sebagai tayangan atau tontonan anak.
Meskipun terdapat beberapa manfaat yang dapat dirasakan ketika menyaksikan tontonan anak, tontonan anak bisa memengaruhi psikologi dan implementasi sosialnya.
BACA JUGA:Tukar Sampah Jadi Sembako
Memberikan anak tontonan yang sesuai dengan usianya dan melakukan pendampingan terhadap anak saat menonton juga dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi anak dan menstimulasi imajinasi anak.
Namun, sebaiknya orang tua tetap memperhatikan dan mendampingi ketika anak sedang menyaksikan tontonan anak di rumah.
Melansir dari Association for Natural Psychology, anak yang terlalu banyak menyaksikan tontonan anak memiliki gaya hidup yang lebih pasif.
Tentunya, hal ini dapat memengaruhi pikiran dan perilaku anak. Beberapa tontonan anak mengandung adegan kekerasan atau hal-hal yang tidak realistis sehingga menyebabkan ia mengembangkan imajinasinya dan berpikir bahwa mereka dapat melakukan hal yang serupa.