Dekat dengan Semua Kalangan
--
“KALAU seumpama kita kenapa-kenapa Giok, kita harus teruskan kerja kerja sosial dan budaya ini. Di manapun kalau memang kita diperlukan dan kita bisa membantu, lakukan,".
Pesan dari Ibu Morini (alm) inilah yang selalu terngiang-ngiang dalam benak Indrawati atau Gouw Yang Giok (80) ketika menceritakan awal mula kiprahnya dalam beragam aktivitas sosial dan budaya di Cirebon.
Ibu Morini merupakan rekan sejawat sekaligus aktivis sosial yang sangat dihormati oleh komunitas masyarakat Tionghoa di Cirebon. hal itu mengingat peran dan pengabdiannya dalam bidang sosial dan pendidikan.
Pesan itu disampaikan mendiang Ibu Morini saat ada gejolak konflik multidimensi yang terjadi pada 1998. Saat itu, sejumlah kerusuhan terjadi jelang kejatuhan Presiden Soeharto. Dimulai di Jakarta, konflik itu dikhawatirkan akan merembet ke kota-kota lain di Indonesia. Termasuk di Cirebon.
Sebagai masyarakat keturunan Tionghoa, perempuan yang akrab disapa Ibu Giok itu merasa terpanggil. Meskipun di sisi lain, dirinya merasa khawatir konflik tersebut akan berdampak langsung terhadap ia dan keluarganya.
“Ketika kota-kota yang dikhawatirkan terdampak (kerusuhan rasial), itu dijagain di pintu-pintu masuknya, kita berfikir kalau mereka semua jaga-jaga di situ, siapa yang kasih makan. Dari situ kita mulai membuat dapur umum," ungkapnya.
Waktu itu, rumahnya yang berada di Kanoman digunakan sebagai pusat logistik. Sementara dapur umumnya sendiri dibangun di rumah Ibu Morini. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan sejumlah pesantren di wilayah Cirebon seperti Pesantren Kempek, Balerante, dan Babakan Ciwaringin untuk membagi-bagikan makanan kepada para aparat yang menjaga di pintu-pintu masuk.
“Pada waktu itu yang dicari kan orang-orang Tionghoa. Maka dari itu, yang membagikan itu anak-anak dari pesantren. Yang belanja dan masaknya kita-kita. Kemudian yang menyediakan pendanaan juga ada lagi yang support. Jadi kita semua bekerja bersama-sama," tutur Ibu Giok.
Dari peristiwa tersebut, Ibu Giok mulai aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Tidak saja aktivitas sosial yang berhubungan konflik dan bencana di wilayah Cirebon, mereka juga banyak melakukan aktivitas sosial di hampir seluruh Indonesia. Seperti pada peristiwa gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, gempa dan tsunami di Pangandaran, gempa di Tasikmalaya, hingga erupsi di Gunung Merapi. Mereka menggalang dana dan memberikan bantuan langsung kepada para korban.
Saat terjadi gempa di Nias, Ibu Giok bersama dengan Ibu Morini dan kelompoknya bahkan mengambil 3 orang anak yang orang tuanya menjadi korban dalam tragedi tersebut. Mereka dibawa ke Cirebon untuk kemudian diberikan keterampilan sebagai nelayan. “Mereka belajar membantu mencari ikan. Sesudah 6 bulan, mereka kita kembalikan ke Nias supaya bisa bekerja di Nias," ungkapnya.
Atas kiprahnya itu, maka tidak heran jika ibu Giok dikenal dekat dengan kalangan, mulai dari pedagang kecil, tokoh agama, akademisi, aktivis, pengusaha hingga para pejabat teras banyak yang mengenalnya. Kendati demikian, dirinya tetap membumi. Tak pernah merasa berbeda, apalagi merasa lebih dengan yang lain. (awr)