Merdeka dari Kekerasan
Ilustrasi kekerasan pada anak.-istimewa-
Oleh: Fitri Ainurizki SKep*
KASUS kekerasan hingga pelecehan seksual yang terjadi akhir-akhir ini telah mencoreng reputasi dunia pendidikan tanah air.
Ruang sekolah, kampus, bahkan pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk menimba ilmu pengetahuan kini tidak lagi menjadi tempat aman dan ‘steril’ dari predator seksual.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) tercatat sebanyak 4.630 kasus kekerasan dan pelecehan seksual dialami oleh perempuan di tahun 2023. Berdasar usia tercatat sebanyak 30% di antaranya berusia 13-17 tahun.
BACA JUGA:Momen Peringatan Maulid Nabi, ASN Harus Tiru Perilaku Nabi Muhammad sebagai Contoh Teladan
Dan menurut tingkat pendidikannya pada tingkat SMP dan SMA sangat rentan terjadi kekerasan dan pelecehan seksual sebanyak 53.4%.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menyebutkan setidaknya sepanjang Januari-Juli 2022, terdapat 12 kasus kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah.
Sebanyak 25% di antaranya terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan 75% di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.
Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi? Kekerasan seksual, dalam pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), bisa terjadi karena tiga hal penting, yakni kekuasaan, konstruksi sosial dan target kekuasaan.
BACA JUGA:Perguruan Tinggi Bisa Jadi Lokasi Kampanye, Ini Syarat dan Ketentuannya
Terkait dengan kekuasaan, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah salah satu alasan kuat terjadinya pelecehan seksual.
Tidak hanya itu, budaya victim-blaming (menyalahkan korban) juga menjadi pemicu terjadinya pelecehan seksual.
Banyak korban pelecehan seksual yang enggan melaporkan kasusnya dengan alasan takut disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga sikap sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pelecehan seksual.
Dengan alasan ini tentunya pelaku merasa diuntungkan karena korban akan menjadi target ideal sebagai pihak yang disalahkan. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memerangi kejahatan seksual?