Jika aktivitas seksual itu didahului paksaan, barulah solid jika disimpulkan ada pemerkosaan. Tapi jika ternyata sperma itu didahului oleh aktivitas seksual yang konsensual atau mau sama mau, jelas Reza, maka itu bukan pemerkosaan. Bukan perbuatan pidana.
“Yang saya butuhkan adalah profil psikologis kedua korban untuk membantu kita dalam menentukan kira-kira lebih besar mana kemungkinannya. Apakah sperma didahului oleh aktivitas seksual mau sama mau, atau oleh aktivitas seksual yang forceful?," ungkap Reza.
Kemudian kedua, Reza sangat menunggu adanya bukti komunikasi elektronik via gawai yang rinci yang dilakukan oleh para terpidana pada saat itu, dan oleh kedua korban. Bukti komunikasi elektronik itu mencakup siapa, dengan siapa, berkomunikasi tentang apa, jam/menit/detik, berapa. “Itu akan memberikan gambaran kepada kita tentang sebetulnya para tersangka ini betul-betul merencanakan pembunuhan atau tidak," tukasnya.
Jika terjadi pembunuhan berencana secara berkelompok, lanjut Reza, sudah pasti sesama pelaku saling kontak. Entah itu SMS atau melalui telepon. Yakni tentang bagaimana merealisasikan rencana untuk membunuh korban.
BACA JUGA:Tuntaskan Penyusunan Haluan Arah Pembangunan 20 Tahun ke Depan
Bukti komunikasi elektronik via gawai dari para korban juga dibutuhkan untuk menangkap indikasi kegelisahan terpidana malam itu. Terkait tanda-tanda mereka merasa takut, cemas, panik, mencari perlindungan/pertolongan, menghindar dari kejaran, dan seterusnya.
"Nah, sayang beribu sayang, bukti komunikasi elektronik yang sesungguhnya punya nilai emas macam ini kok ya tidak dihadirkan di persidangan. Firasat saya mengatakan bukti elektronik itu sudah ada. Pastilah lah Polda Jabar melakukan ekstraksi terhadap handphone seluruh pihak pada malam itu," pungkasnya.
Sehingga, jelasnya, bisa disimpulkan apakah sungguh-sungguh terjadi pembunuhan berencana atau tidak. Dan apakah sungguh-sungguh terjadi perkosaan atau tidak. (ade)