Hal yang sifatnya transcendental justru mendukung spiritualisme dalam menjalani kehidupan duniawi agar lebih terarah. Dan sains itu sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Islam, from within. Islam menginspirasi sains.
Tanpa Islam, sains menjadi rusak dan tidak terkendali, sebaliknya Islam tanpa sains, akan mengalami stagnasi (konservatisme) dan kehidupan masyarakat menjadi statis.
Antara agama dan sains terbentuk relasi yang cair dan dinamis, dan bukanlah dua hal yang paradoksial. Ian G. Barbour, memformulasikan empat corak relasi antara agama dan sains yang dikenal dengan Tipologi Barbour.
Tipologi ini terdiri dari empat pandangan, yaitu Konflik, Independensi, Dialog dan Integrasi, yang mana satu sama lainnya memiliki karakter yang berbeda. (Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, 1971).
Karena itu penulis tidak sependapat dengan beberapa pandangan bahwa semakin tinggi pemahaman keagamaan seseorang, maka akan semakin resisten dengan sains; justru dengan pemahaman yang luas terhadap ilmu agama akan membuat seseorang semakin bijak, toleran, realistis dan adaptif dengan perkembangan yang ada dengan karakteristiknya yang fluktuatif dan beragam.
Pandangan ini juga senada dengan doa “sapu jagat” yang disebutkan oleh Allah dalam firman-NYA: “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “YaTuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S Al-Baqarah: 201).
Ayat ini mengisyaratkan tentang pentingnya keseimbangan antara dunia (immanent/material) dan akhirat (trancendental/spiritual).
BACA JUGA:Baliho Sudah Tersebar Dimana-mana, Eh... Sekarang Abraham Mengundurkan Diri dari Bacabup
Oleh sebab itu pengabaian terhadap sains atau sebaliknya adalah kontra produktif (counterr-productive) dalam menciptakan kehidupan yang harmoni. (*)
*Ketua Qohuwa Buntet Pesantren Cirebon