Dalam kondisi inilah kesadaran kapitalistik muncul. Bahwa kesadaran positivisme menyeret manusia ke alam individualisme yang membuka keran kebebasan yang berorientasi melayani konsumsi maksimal dengan akumulasi dan eksploitasi sebesar-besarnya. Sebab itu, puasa yang merupakan ibadah privat ikut terseret di dalamnya.
KAPITALISME RELIGIUS
Akibat kesadaran tersebut, puasa dalam manifestasinya mengalami kontradiksi terutama kontradiksi internal pada diri pelaksananya.
Puasa semula dipahami sebagai ibadah fardhu, namun pasca kesadaran tersebut, puasa terkodifikasi sedemikian rupa untuk target akumulasi besar-besaran demi meraup keuntungan maksimal, yakni pahala berlipat ganda.
Hal ini tentu menyimpang dari substansi puasa itu sendiri yakni men-challenge diri mengekang sifat materialisme dalam jiwa.
Kendati sifat materialistik (makan-minum, berkembang biak dan sebagainya) dibutuhkan untuk keberlanjutan hidup, tapi memberinya ruang seluas-luasnya hanya akan menginvestasi kesadaran kapitalisme untuk jangka panjang.
Kapitalisme kata Yuval Noah Harari adalah modal kapital yang harus diinvestasikan untuk tujuan produksi. Kredo kapitalisme menyebutkan bahwa individualisme dikultuskan, mengakumulasi dan eksploitasi sumber daya apapun diperbolehkan dalam rangka memenuhi keuntungan individu.
Seseorang yang melaksanakan puasa untuk tujuan pahala semata akan terjebak pada kesadaran ini. Dan faktanya, gejalanya sudah bermunculan. Pertama, akumulasi.
Layaknya persaingan pasar, puasa menjadi ruang kompetisi menanamkan modal kapital berupa lahan amalan dan perbuatan. Tiap individu akan mengoptimalkan perbuatannya untuk satu tujuan pokok, yakni pahala maksimal.
Di bulan ini, intensitas ibadah sangat jauh berbeda dari bulan di luar Ramadan. Seorang sudah barang tentu akan mengkapitalisasi perbuatannya untuk kepentingan ibadah. Mengingat pada bulan inilah pahala ibadah terakumulasi berkali-kali lipat dari bulan biasanya.
Kedua, eksploitasi. Sebagian kita memaknai puasa sebagai ibadah an-sich semata yang terlepas dari tujuan transendental, yakni ridho Allah SWT. Puasa dikerjakan penggugur kewajiban belaka.
Dari sini puasa sangat hambar. Kesadaran kapitalisme yang menguasai tubuh sebelumnya, menyebabkan puasa terkondisikan untuk tujuan pragmatis; pahala berlipat ganda.
Ibarat kompetisi, puasa menjadi perlombaan setiap individu mengejar pahala berlipat ganda. Barangkali dalam konteks ini puasa menjadi tujuan bukan alat. Tujuan ketika berpuasa hanyalah mengejar pahala berkali-kali lipat.