CIREBON - Rencana adanya perubahan status Kawasan Bima dari yang sebelumnya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi zona sarana pelayanan umum (SPU) mendapat kritikan dari berbagai elemen, salah satunya dari pemerhati pemerintahan, Dr Cecep Suhardiman SH MH.
Menurutnya, pengaturan penataan ruang diselenggarakan untuk mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang. Termasuk, memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. "Serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat," tegas ahli hukum ini.
Menurutnya, RTH publik meliputi taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai dan pantai. Sedangkan ruang terbuka hijau privat meliputi kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Atas dasar pertimbangan itu, dirinya menegaskan perubahan Perda RTRW tersebut sangat tidak beralasan dan tidak ada argumentasi hukum yang relevan.
BACA JUGA:RSUD Arjawinangun Siapkan Ruang Khusus Bagi Caleg Stres
Rencana perubahan ruang terbuka hijau (RTH) Kawasan Bima, sambung dia menganggap usulan perubahan RTH Kawasan Bima ke Kemendagri ini merupakan pelanggaran dan tidak tepat sasaran. Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berlaku sampai dengan 2030, yang mana merupakan turunan dari UU RTRW.
Dilakukan evaluasi secara bertingkat mulai dari evaluasi gubernur diwakili oleh tim yang dikoordinir oleh bappeda provinsi, kemudian dievaluasi oleh pemerintah pusat yang dilakukan oleh Kementerian PUPR Dirjen Tata Ruang.
Ia membeberkan pasal 29 UU RTRW, dimana disebutkan ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Di mana proporsi ruang terbuka hijau kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Sedangkan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.**