KURANG dari sebulan, kita akan memasuki satu hari penentuan tentang bagaimana bangsa ini akan dipimpin lima tahun ke depan. Pertanyaan bagaimana watak kepemimpinan dan pemerintahan berikutnya, pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin, akan terjawab.
Secara teoritis, peristiwa 14 Februari 2024 nanti adalah salah satu dari hari-hari terpenting bangsa Indonesia, termasuk hari-hari terpenting setiap warga negara dan kelompok kelompok masyarakat, suku, agama, dan antar golongan, yang artinya, juga hari-hari terpenting umat Islam yang ada di Indonesia.
Mengapa kita harus mendefinisikan kelompok umat Islam? Karena secara historis dan secara faktual, kelompok yang bernama umat Islam ini telah menjadi salah satu faktor terpenting dalam kita berbangsa dan bernegara, sejak awalnya.
Saya sendiri mendorong pendefinisian ini dalam rangka, justru mengakhiri adanya dikotomi yang tidak rasional antara umat dan bangsa, dan juga antara agama dan negara. Sejak awal, saya mendorong adanya integrasi dari apa yang selama ini dipisahkan, sehingga kita memiliki cara melihat yang positif tentang realitas yang bernama agama dan negara, pada saat yang bersamaan.
BACA JUGA:Pemkab Cirebon Gelar Open Bidding Hanya untuk Jabatan Kadishub
Saya merasa bahwa semua dikotomi yang dibuat selama ini telah berlaku secara tidak fair kepada umat Islam. Karena akhirnya, seolah-olah bangsa dan umat ini harus dibenturkan dan berhadap-hadapan, padahal tidak harus, dan memang tidak bisa begitu.
Seolah-olah kalau dia umat, maka dia bukan bangsa. Dan kalau dia bangsa, pastilah bukan umat. Padahal seharusnya dia berlaku sejalan dan seiring dalam satu tarikan napas bahwa yang disebut sebagai umat dan bangsa, ada dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Secara etimologi, kata umat, bangsa, dan rakyat itu berasal dari asal kata dan pengertian yang sama, terutama dalam bahasa Arab. Karena itulah pada dasarnya kita tidak mendikotomikan kata-kata itu untuk tujuan melakukan diskriminasi karena pada dasarnya, maknanya adalah sama.
Prabowo Bukan Umat?
Suatu hari, saat Partai Gelora bertemu dengan Pak Prabowo, beliau menceritakan hasil pertemuannya dengan salah satu partai yang menyebut dirinya Partai Islam. Beliau bertanya tentang bagaimana kelanjutan kerja sama politik yang selama ini dibangun bersama, apakah bisa diteruskan dalam Pilpres tahun 2024?
BACA JUGA:Proyek Besar, Wajar Pataraksa Jadi Perhatian Publik
Tiba-tiba Pak Prabowo mendapatkan penjelasan dari pimpinan tertinggi tersebut bahwa Partai Islam itu kini ikut "pilihan umat". Pak Prabowo terdiam mendengar penjelasan itu, karena tidak mengerti. Saat bertemu kami (Partai Gelora), Pak Prabowo menceritakan peristiwa itu dan bertanya kepada kami, "apakah saya ini bukan umat?"
Kami sambil sedikit terharu dan menahan getir bahwa ada kelompok yang bisa memperlakukan Pak Prabowo dengan cara diskriminatif seperti itu, seolah-olah Pak Prabowo bukan merupakan bagian, bahkan terlepas, dari umat Islam. Ini sulit dipahami.
Lalu, dalam pertemuan dengan Partai Gelora itu, Ketua Umum Anis Matta menjelaskan kepada Pak Prabowo tentang definisi kata-kata yang tadi saya sebutkan. Bahwa pada dasarnya istilah umat, bangsa, dan rakyat memiliki makna yang sama. Karena itu tidak ada dikotomi, apalagi dengan maksud melakukan diskriminasi.
Saya dulu pernah secara keras memberikan penilaian kepada mereka yang terlalu dangkal menggunakan terminologi dalam agama di ruang publik, dengan maksud membuat diskriminasi antar umat beragama. Padahal Konstitusi dan Undang-undang di negara kita tercinta ini mengatur bahwa tidak ada lagi diskriminasi dalam bentuk apa pun.
BACA JUGA:The Luxton Cirebon Siap Meriahkan Tahun Baru Imlek