Oleh: Munib Rowandi Amsal Hadi*
KIAI Abbas Abdul Jamil dari Buntet Pesantren adalah salah satu tokoh pejuang pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Keberangkatannya ke Surabaya merupakan perintah dari Kiai Hasyim Asy’ari, tokoh sentral perlawanan 10 November.
Pada saat Bung Tomo meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim Asy’ari kapan waktu mulai melawan Belanda di Surabaya, Kiai Hasyim Asy’ari meminta kepada Bung Tomo agar menunggu Kiai Abbas dari Buntet Cirebon.
BACA JUGA:Cegah Konflik Antardaerah
Kiai Abbas lahir pada tahun 1879. Ia memimpin pondok Buntet Pesantren menggantikan bapaknya Kiai Abdul Jamil yang meninggal pada tahun 1919.
Sebelum memangku kepemimpinan, Kiai Abbas ditempa ilmu pengetahuan langsung dari bapaknya. Selain itu, untuk mendidik Abbas muda, Kiai Abdul Jamil mendatangkan banyak guru dari luar. Bahkan didatangkan juga guru silat dari luar Jawa.
Kiai Haji Abbas disuruh pula belajar kepada kiai-kiai kenamaan yang memimpin pesantren di daerah lain. Seperti: Kiai Hassan (Pesantren Sukun Sari, Plered), Kiai Nasukha (Pesantren Jati Sari), Kiai Ubaedah (Pesantren Giren, Tegal), Kiai Hasyim Asy'ari (Pesantren Tebu lreng).
Sebelum diangkat menjadi pimpinan pesantren, Kiai Abbas melaksanakan juga ibadat haji ke tanah suci Mekah sampai dua kali.
BACA JUGA:Dorong Masyarakat untuk Tertib Pajak
Pada ibadat haji yang kedua beliau langsung bermukim di sana dengan tujuan utamanya untuk memperdalam ilmu qiro'at, tafsir, dan hadist.
Dengan ilmu pengetahuan serta wawsan yang luas, Kiai Abbas memimpin Pondok Buntet Pesantren. Berbagai lompatan pemikiran dapat dilihat dari upaya Kiai Abbas yang berani memadukan sistem pendidikan tradisional dan modern.
Pada tahun 1928 Kiai Abbas mendirikan sekolah formal dengan nama Abnaoel wathan. Sebuah keberanian dan lompatan pemikiran yang progresif.
Saat itu, masih banyak orang yang menentang sekolah formal. Namun Kiai Abbas memandang perlunya sekolah tersebut.
BACA JUGA:Cek Lahan, Dukung Program Ketahanan Pangan Nasional