Sejauh pemahaman penulis, eksistensi komunitas literasi tidak bisa didikte hanya berdasarkan sokongan kaum pemodal.
Bahwa komunitas literasi berdaya karena kreativitas dan kemandirian. Idealisme sebagai komunitas intelektual yang independen tidak boleh hancur hanya karena sokongan golongan elit.
Kendati bantuan dan sokongan oleh negara atau korporasi penting, tetapi itu sifatnya hanya pendukung itupun tingkatan paling bawah.
BACA JUGA:Ranking FIFA Timnas Indonesia Melesat Jika Mampu Kalahkan Bahrain dan China di Oktober Ini
Fenomena bagaimana literasi dikapitalisasi mengingatkan kita dengan ulasan Peter Flemming tentang penyebab matinya perguruan tinggi yang ditulisnya dalam Dark Academia: How Universitas Die.
Flemming dengan apik menjelaskan bagaimana sektor pendidikan diobrak-abrik dan akhirnya runtuh di bawah komersialisasi yang ekstrem (Flemming, 2022).
Flemming berangkat dari fakta bahwa perguruan tinggi yang menjalin kontak yang begitu intens dengan kekuasaan mengakibatnya dirinya (perguruan tinggi) tidak ubahnya seperti korporasi yang pro-pasar.
Akademisi terlibat di berbagai sektor permainan neoliberal, idealisme dijual demi insentif tinggi dan iming-iming posisi top dalam jabatan struktural kampus.
BACA JUGA:Dulu Antusias Naturalisasi, Apakah Kevin Diks Kini Masih Berminat Bela Timnas Indonesia?
Mereka tidak peduli pada kenyataan bahwa penyebab utama kemunduran perguruan tinggi adalah komersialisasi.
Perguruan tinggi dipaksa mengikuti skema bisnis 0multinasional dan akhirnya melupakan misi kemasyarakatannya.
Akibatnya, cara pandang akademisi berbelok dan menyesuaikan dengan selera korporasi yang membuat perannya sebagai intelektual rapuh sebagaimana sendi komunitas literasi yang keropos akibat literasi dikapitalisasi. (*)
*Penulis adalah Governance Analyst di Pratama Institute