AWAS! Bulan September Diprediksi Jadi Puncak Musim Kemarau

Areal sawah terlihat retak-retak dan tanaman padi sudah tidak bisa tumbuh karena kekurangan air di Desa Bangodua dan Slangit.-dokumen -tangkapan layar

CIREBON- Bulan September diprediksi menjadi puncak musim kemarau.

Tak heran, jika saat ini banyak areal lahan pertanian yang  dilanda kekeringan ekstrem. 

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Dr Alex Suheriyawan mengatakan, pihaknya menyiapkan beberapa skema untuk menekan jumlah lahan yang mengalami gagal panen atau puso. 

“Di tahun 2023, kumulatif bencana kekeringan seluas 1002 hektare, dengan luas puso 31 hektare dan luas yang pulih sepenuhnya 183 hektare,” ungkap Alex.

BACA JUGA:Jangan Percaya Calo Dengan Iming-iming Bisa Loloskan Peserta Jadi CPNS

Lebih lanjut, dikatakan Alex, untuk kondisi terkini tahun 2024 bisa dilihat dari luas lahan dengan total kekeringan seluas 235 hektare dengan kategori kekeringan 233,5 hektare ringan, 1 hektare kategori berat dan 0,5 hektare kategori puso.

“Puncak kekeringan di tahun 2023 ada di bulan September. Untuk itu, untuk mengantisipasi kejadian yang sama di September 2024 telah dilakukan upaya untuk menekan angka kekeringan. Kalau dibandingkan dengan tahun lalu, tahun ini lebih baik,” tuturnya.

Dinas Pertanian, kata Alex, sudah berkoordinasi dengan Dinas PUTR Kabupaten Cirebon dan BBWS terkait ketersediaan air, informasi giliran air, jadwal pengeringan dan perbaikan saluran irigasi.

BACA JUGA:TMMD Ke-121 Bangun Pipanisasi di Kubang Sepanjang 1.200 Meter 

“Kita juga mempersiapkan pompa air pada lokasi rawan kekeringan. Menghimbau penggunaan varietas DNA varian kekeringan dan hama penyakit padi sawah irigasi seperti Inpari 13, 19, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 46, Cakrabuana, Padjajaran, Siliwangi, Cisaat dan M-70D, sesuai rekomendasi Dirjen Tanaman Pangan,” imbuhnya.

Sementara itu, salah seorang petani di Kecamatan Klangenan menyebut untuk kondisi paling parah ada di Desa Bangodua dan sekitarnya, tak terkecuali di Desa Slangit.

“Di Desa Bangodua banyak lahan yang kering, tidak ada air, petani juga sudah pasrah, ini contoh yang sudah tidak bisa diselamatkan, padahal umurnya dua bulan tapi sudah tidak bisa tumbuh karena kurang air,” ujar Sanija, petani yang ditemui Radar Cirebon, kemarin.

BACA JUGA:Sentra Medika Hospital Gempol, RS Umum Swasta Kelas C dengan Fasilitas dan Layanan Setara Kelas B

Menurutnya, jika dipaksa menggunakan pompanisasi dan pupuk maka kerugian yang diderita akan lebih besar sehingga pihaknya membiarkan saja kondisi sawahnya. 

Tag
Share