Putusan MK: Kejutan Jelang Pendaftaran Paslon Pilkada 2024
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).-jpnn-radar cirebon
JAKARTA- Kejutan datang dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan ambang batas pencalonan dalam pilkada. Peta politik jelang pendaftaran peserta Pilkada 2024 pun mendadak berguncang. Putusan MK ini membuka peluang bagi lebih banyak calon untuk bertarung dalam pilkada yang akan digelar November mendatang.
MK mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).
Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusan tersebut, MK menghapus ketentuan ambang batas kursi DPRD atau suara sah yang sebelumnya 20% dan 25%. Sebagai gantinya, syarat pengusulan paslon didasarkan pada ambang batas perolehan suara sah yang mengacu pada jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing masing daerah.
MK pun menetapkan empat klasifikasi ambang batas, yaitu 10%, 8,5%, 7,5%, dan 6,5%, tergantung pada jumlah DPT di daerah tersebut. Untuk Pemilihan Gubernur, ambang batas suara sah yang ditetapkan adalah 10% untuk DPT hingga 2 juta, 8,5% untuk DPT lebih dari 2 juta hingga 6 juta, 7,5% untuk DPT lebih dari 6 juta hingga 12 juta, dan 6,5% untuk DPT lebih dari 12 juta.
BACA JUGA:Wahid, Penjual Kupat Tahu yang Kini Jadi Anggota DPRD Kota Cirebon
Sementara untuk Pemilihan Bupati/Walikota, ambang batasnya adalah 10% untuk DPT hingga 250 ribu, 8,5% untuk DPT lebih dari 250 ribu hingga 500 ribu, 7,5% untuk DPT lebih dari 500 ribu hingga 1 juta, dan 6,5% untuk DPT lebih dari 1 juta.
Ketua MK Suhartoyo yang membacakan amar putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian. “Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.
Sementara, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada merupakan norma yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 39 huruf a UU 8/2015 yang menyatakan, “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik”.
Dalam konteks ini, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dapat dikatakan sebagai desain pengaturan ambang batas atau threshold untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan model alternatif.
BACA JUGA:Koalisi Pilkada Kota Cirebon, KCG Tersisa Tiga Partai
Pertama, apakah dapat memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD. Atau, kedua, apakah dapat memenuhi 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
“Kedua pilihan threshold pencalonan kepala daerah tersebut ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menentukan pilihan mana yang dapat dipenuhi,” ujar Enny.
Berkenaan dengan alternatif pertama, Enny melanjutkan, ditentukan lebih lanjut persyaratannya dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada yang pada pokoknya hanya untuk memberikan kepastian terkait dengan cara penghitungan pecahan persentase dari jumlah kursi DPRD paling sedikit 20%.
Apabila ternyata hasil bagi jumlah kursi DPRD tersebut menghasilkan angka pecahan, maka untuk kepastian perolehan jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas. Sementara itu, lanjut Enny, terhadap norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada juga menjelaskan lebih lanjut alternatif pencalonan kepala daerah apabila akan digunakan 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, namun tak menegaskan bila ternyata hasil bagi suara sah tersebut menghasilkan angka pecahan sebagaimana pola yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada.