PBNU-PKB: Kembali ke Fitrah!
Logo PBNU dan PKB.-istimewa-
BACA JUGA:Program Debas, Dorong Masyarakat Bisa Nikmati Ketersediaan Air Bersih
Bahkan, AD/ART hasil Muktamar Bali secara eksplisit menyatakan bahwa Ketua Umum PKB memiliki kewenangan yang sangat besar, termasuk menentukan kebijakan partai yang strategis, serta memberhentikan pengurus DPW dan DPC tanpa melalui musyawarah wilayah atau musyawarah cabang.
Demikian halnya dengan (PB)NU. Berhentilah menjatuhkan diri terlalu curam dalam palung politik yang tak pernah membawa umat kemanapun selain kepentingan sektoral yang semu belaka.
Politik NU adalah politik kebangsaan yang menaungi semua bendera, ideologi, dan latar belakang. Politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini adalah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan.
Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
BACA JUGA:Cimplo, Makna Dibalik Pembuatan Kue Tradisional di Bulan Safar
Bahwa misi terbesar NU ialah misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan).
KEMBALI KE FITRAH
Baik PBNU maupun PKB sudah sepatutnya kembali duduk bersama demi mendiskusikan peluang-peluang kerjasama sosial politik ekonomi keumatan yang jauh lebih substansif dan signifikan.
Sebab sejarah sudah mencatat, apapun bentuk seteru yang terjadi, kenyataan bahwa PKB lahir dari rahim Nahdlatul Ulama takkan bisa dipungkiri oleh siapapun.
BACA JUGA:5 Aspek Kerawanan Pelanggaran Pilkada Menurut Bawaslu, Apa Saja 5 Aspek Itu?
Karena itu, kembalikanlah wewenang dan porsi Dewan Syuro agar PKB tetap menjadi partai yang berlanggam spirit para kiai dan ulama.
Sebaliknya, PBNU juga perlu menyadari bahwa NU tak pernah berkaitan (baik secara langsung maupun tidak) dengan salah satu lembaga Kementerian manapun.
Oleh sebab itu, ”serangan-serangan” terhadap salah satu kebijkan Kementerian jangan lantas ditafsirkan sebagai serangan terhadap PBNU.
Dalam arti yang lebih luas: kembalilah ke Khittah Nahdliyyah di mana kepentingan sosial-ekonomi nahdliyyin kembali menjadi agenda prioritas utama.