Ruang Hampa Penegakan Hukum di Indonesia

Ilustrasi penegakan hukum di Indonesia.-istimewa-

BACA JUGA:Sekda Dian Pamitan

Para penegak hukum sering hanya menggunakan teks undang-undang tanpa mau masuk ke sukma yang ada di balik teks, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.

Padahal hukum tidaklah lahir dan hidup di ruang hampa. Ia selalu berkelindan kehidupan sosial masyarakat. Hukum selalu bergerak mengikuti tatanan sosial dan nurani keadilan masyarakat.

Marcus Tullius Cicero menyatakan “ubi societas ibi ius”, di mana ada masyarakat pasti di situ ada hukum. 

Oleh karenanya, menegakkan hukum tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum, tetapi juga untuk melahirkan rasa keadilan sekaligus kemanfaatan hukum yakni memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat sehingga tercipta ketertiban hukum.

BACA JUGA:Tuan Rumah Juara Umum Cirebon Open

Proses penegakan hukum merupakan hal yang sensitif bagi masyarakat. Sebab ia terhubung dengan rasa keadilan. Untuk itu, para aparat penegak hukum semestinya memiliki sensitivitas guna menjembatani antara kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

Hilangnya sensitivitas keadilan dari para aparat penegak hukum sama dengan hilangnya legitimasi penegakan hukum. Sebab legitimasi penegakan hukum terletak pada rasa kepercayaan masyarakat terhadap keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum.

Meskipun suatu putusan hakim sah atau legal secara hukum, tetapi jika bertolak belakang dengan rasa keadilan masyarakat, maka putusan tersebut tidak memiliki legitimasi sosial yang kuat di hadapan masyarakat.

Vonis bebas dari Pengadilan Negeri Surabaya terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti menjadi contohnya. Meskipun putusan pengadilan tersebut memiliki legitimasi secara hukum, tetapi tidak memiliki legitimasi sosial yang kuat. 

BACA JUGA:Pelaku Usaha Berizin Semakin Meningkat

Sebab masyarakat menilai tidak ada rasa keadilan yang diberikan hakim dalam putusan tersebut. Akhirnya, publik pun berbondong-bondong mengecam dan mengkritik putusan hakim sebagai wujud matinya keadilan.

Ada sebuah prinsip utama dalam hukum yakni “lex iniusta non est lex” yang berarti hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali.

Di samping itu, untuk mendobrak kebekuan hukum positif ini, muncul paradigma kritis dengan dalilnya yakni “yang legal belum tentu moral.”

Suatu putusan hakim sebagai produk penegakan hukum meskipun memiliki legitimasi hukum yang kuat, tetapi bisa jadi nihil akan moralitas hukum.

Tag
Share